Kolom
Senin, 19 Juni 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Ramadan di Bumi Pancasila

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Zainal Anwar

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (7/6/2017). Esai ini karya M. Zainal Anwar, dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah zainalanwar@gmail.com

Solopos.com, SOLO–Di bawah ideologi Pancasila, menjalani puasa Ramadan di Indonesia menyajikan kemewahan luar biasa. Kalangan birokrasi hingga ruang-ruang publik tidak absen dari suasana Ramadan. Para pegawai negeri sipil memperoleh kelonggaran jam kerja selama Ramadan.

Advertisement

Mal dan supermarket berlomba-lomba menyajikan diskon produk. Semua jenis media bisa dipastikan memiliki program khusus seputar Ramadan.  Tak ketinggalan partai politik dan para politikusnya memanfaatkan berbagai media untuk mengucapkan selamat Ramadan dan membuat program yang berkaitan dengan Ramadan, misalnya salah satu partai politik pada awal bulan puasa ini meluncurkan Alquran digital.

Tanpa kita sadari keriuhan ruang publik dengan berbagai kegiatan seputar Ramadan sejatinya bisa kita nikmati karena kita berada di di bawah ideologi Pancasila. Pemasangan berbagai spanduk hingga acara televisi yang penuh dengan nuansa Ramadan adalah ekspresi keberagamaan yang wajar adanya.

Yang tidak boleh kita lupakan adalah umat non-Islam memberi penghormatan terhadap kaum muslim yang sedang menjalankan puasa. Tidak terdengar protes atau aksi demonstrasi yang menentang acara Ramadan di ruang publik.

Advertisement

Ketika saya menjalankan puasa Ramadan di Papua dua tahun lalu, petugas dan pemilik hotel yang nonmuslim ikut membangunkan saya untuk makan sahur dan menyiapkan makanan untuk ibadah sahur. Pengalaman keberagamaan ini menarik untuk dikupas.

Rasa hormat dan menghormati adalah makna penting dalam menjalankan ibadah keagamaan. Warung makan yang masih buka pada Ramadan tidak perlu diperingatkan. Yang penting, pemilik warung makan tersebut tahu diri dengan membuka warung ala kadarnya.

Biasanya ada tirai agar orang yang sedang makan di dalam warung tidak terlihat atau menampakkan diri. Umat Islam yang sedang berpuasa justru bisa mengambil hikmah dari warung yang masih buka pada bulan puasa. Tidakkah lebih baik kita menganggap hal ini sebagai cobaan yang justru bisa meningkatkan pahala ibadah puasa?

Advertisement

Sejatinya ekspresi keberagamaan di atas menunjukkan adanya penghormatan tersembunyi yang ditunjukkan oleh umat nonmuslim di Indonesia. Dalam naungan Pancasila, pelaksanaan puasa Ramadan tidak mengalami kendala apa pun.

Tidak berlebihan jika disebut  Ramadan dan juga Lebaran telah menjadi hajat negara. Sebelum musim mudik Lebaran tiba, jalan yang akan dipakai diperbaiki. Kementerian Perhubungan dan Perumahan Rakyat dan berbagai perusahaan, bahkan partai politik, berlomba-lomba menyiapkan tiket mudik ke berbagai kota di Jawa.

Melampaui Simbol

Kenyataan di atas menunjukkan sebuah karakter keberagamaan yang khas Indonesia. Islam dan kaum muslim menikmati kenyamanan beribadah di negeri Pancasila. Simbol-simbol Ramadan menghiasi berbagai ruang publik tetapi tidak boleh membuat umat Islam menjadi jemawa dan tidak menghormati umat lain.

Umat Islam juga tidak perlu marah jika ada warung makan yang buka. Agama tidak mengajarkan kita untuk minta dihormati ketika berpuasa. Jika setiap muslim menyadari esensi ini, Ramadan dengan suasana Pancasila akan menghasilkan manusia yang memiliki spirit menghormati orang lain, tidak besar kepala karena merasa mayoritas, dan beribadah tidak untuk dihormati.

Selanjutnya Transformasi 

Transformasi Nilai

Transformasi nilai semacam ini penting agar umat Islam tidak terjebak pada upaya simbolisasi Ramadan sebagai eksrepsi kesalehan. Mendalami nilai-nilai yang terkandung dalam puasa Ramadan merupakan suatu kontribusi yang penting dalam tata kehidupan keberagamaan di bumi Pancasila ini.

Jika dikaji lebih jauh, praktik puasa Ramadan yang dijalankan di Indonesia bisa menjadi potret pelaksanaan toleransi umat beragama di dunia. Dengan ideologi Pancasila sebagai payungnya, umat Islam yang sedang berpuasa memperoleh kelonggaran dalam beribadah. Sementara umat non-Islam dengan besar hati menunjukkan sikap hormat terhadap umat Islam yang sedang menahan lapar dan dahaga.

Adanya toleransi yang berkembang perlu ditransformasikan ke dalam bentuk kesadaran bersama bahwa kenyamanan beribadah ini bisa berjalan dengan baik di bawah ideologi Pancasila. Ini penting ditekankan sebagai respons terhadap kelompok yang selalu menganggap bahwa ibadah bisa terlaksana dengan baik kalau sistem khilafah diterapkan.

Pernyataan ini masih sebatas asumsi dan belum ada bukti konkret. Sebaliknya, dengan dasar Pancasila yang dulu juga dirumuskan para pendiri bangsa yang didalmnya juga terdapat para ulama, umat Islam dan non-Islam relatif bisa berdampingan dan bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan masing-masing.

Hikmah lain dari potret pelaksanaan Ramadan di bumi Pancasila adalah seiring sejalannya kehidupan beragama dan berbangsa. Tidak relevan lagi memisahkan antara ber-Islam dan ber-Pancasila. Kenyataannya tidak bisa dimungkiri bahwa ideologi Pancasila telah melempangkan ibadah-ibadah yang dijalankan umat Islam. Tidak hanya dalam Ramadan dan Idul Fitri dengan ritual mudik, tetapi juga dalam menjalankan haji atau pernikahan.

Jika hal ini bisa menjadi kesadaran bersama, saya yakin kehidupan beragama di Indonesia bisa menjadi teladan bagi bangsa-bangsa di dunia. Potret Ramadan di bumi Pancasila ini bisa menjadi cermin bagi bangsa lain dalam memupuk rasa hormat menghormati dalam tata kelola kehidupan beragama.

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif