Kolom
Minggu, 18 Juni 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : PPDB di Tengah Anomali Sosial

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sohidin

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Jumat (16/6/2017). Esai ini karya Sohidin, dosen di Universitas Sebelas Maret yang meminati isu-isu pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Alamat e-mail penulis adalah sohiddien@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Kegiatan penerimaan peserta didik baru (PPDB) secara online tingkat SMA/SMK atau yang sederajat telah berakhir pada Rabu, 14 Juni 2017,  dan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan.

Advertisement

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17/2017 dan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 9/2017 memicu cara berpikir pragmatis sebagian orang. Keresahan masyarakat karena sistem baru PPDB online menyebabkan perilaku yang tidak sehat.

Solopos edisi 15 Juni 2017 memberitakan di hampir setiap daerah atau kabupaten/kota terjadi penyimpangan perilaku masyarakat. Aturan yang mewajibkan sekolah menerima peserta didik baru dari keluarga miskin dalam wilayah provinsi paling sedikit 20% mengundang perilaku negatif.

Panitia PPDB menemukan beberapa calon peserta didik membuat surat keterangan tidak mampu (SKTM) palsu atau fiktif. Mereka sebenarnya bukan tergolong warga miskin tetapi membawa SKTM. Alasan mereka adalah agar bisa masuk di sekolah favorit dengan mengambil kuota calon siswa dari keluarga miskin.

Advertisement

Alasan lain adalah agar mereka bisa masuk sekolah favorit karena SKTM menyumbang tiga poin dan sangat  diperhitungkan dalam PPDB online. Setiap aturan baru yang muncul dan bersifat membatasi peluang dan kesempatan pasti memicu sikap dan perilaku yang cenderung negatif, yakni menyiasati aturan dan mencari kelemahan aturan itu lalu memanfaatkannya.

Selanjutnya Pemerintah tampaknya kurang jeli…

Kurang jeli

Pemerintah tampaknya kurang jeli melihat peluang bagi perilaku negatif masyarakat yang muncul dari aturan baru tersebut. SKTM bisa dibuat tak sesuai fakta, palsu atau fiktif, dengan menyuap pejabat di lingkungan rukun tetangga/rukun warga (RT/RW) atau kelurahan.

Advertisement

Inilah sisi lemah regulasi yang dimanfaatkan sebagian orang yang merasa terbatasi oleh kebijakan dan aturan baru itu. Peluang perilaku negatif itu “berbuah” bisa terjadi kala panitia penerimaan siswa baru tidak teliti atau panitia permisif menerima suap atau memperjualbelikan kursi.

Hal ketiga ini  sangat kecil peluangnya karena sistem online sebenarnya  telah mengeliminasi berbagai perilaku moral hazard. Kita tidak bisa menyalahkan pemerintah yang kurang teliti dalam membuat kebijakan atau masyarakat sebagai objek kebijakan dan aturan baru.

Alangkah baiknya kita menganalisis fenomena tersebut dari sisi kebutuhan dan keinginan.  Panitia PPDB membutuhkan input calon siswa sesuai aturan dan kebijakan nasional dan daerah yang diberlakukan secara regional.

Harapannya  dengan aturan baru itu input calon siswa tetap mengutamakan kualitas dan tidak sekadar kuantitas. Kebutuhan tersebut tampaknya tidak mudah diwujudkan terutama ketika kebutuhan itu dihadapkan dengan masyarakat yang cenderung mengutamakan keinginan.

Advertisement

Sebagian masyarakat yang diuntungkan dengan aturan baru tersebut mersepons positif dan  cenderung tidak berperilaku negatif. Kelompok masyarakat lain yang merasa dibatasi bahkan dirugikan dengan aturan baru tersebut dengan cepat meresponsnya dengan berbagai sikap dan tindakan yang cenderung  negatif.

Solopos edisi 15 Juni 2017 memberitakan ada orang tua siswa yang  mengeluarkan banyak uang untuk membayar lembaga bimbingan belajar dengan harapan anaknya yang belajar di lembaga itu bisa lolos masuk sekolah favorit yang diinginkan, namun kemudian malah memiskinkan diri dengan membuat SKTM.

Selanjutnya Ironis ketika datang mendaftarkan diri…

Ironis

Advertisement

Sangat ironis ketika datang mendaftarkan diri di sekolahan mengendarai mobil dan bisa membiayai anaknya di lembaga bimbingan belajar yang tarifnya puluhan juta rupiah sementara di tangan mereka ada selembar SKTM atas nama keluarganya.

Sudah separah inikah perilaku orang tua siswa yang sekadar mengutamakan keinginan menyekolahkan anak di sekolah favorit tanpa memerhatikan etika dan hukum? Di sisi lain, sekolahan juga dirugikan dengan munculnya aturan dan kebijakan baru PPDB tersebut.

Proses penyaringan untuk mendapatkan calon siswa yang berkualitas tinggi barangkali sulit diwujudkan. Sekolah favorit selama ini diburu banyak calon siswa yang memiliki prestasi akademis relatif baik. Oleh karena itu  sekolah yang favorit semakin ngetop dan yang tidak favorit semakin tidak favorit.

Kebijakan baru PPDB kali ini cenderung bersifat mengurangi kesenjangan di dunia pendidikan. Kita senantiasa wajib menjaga pikiran positif terhadap niat pemerintah untuk membuat pendidikan di Indonesia menjadi  lebih baik.

Sanksi Tegas

Ada yang lebih penting daripada menyalahkan pemerintah maupun masyarakat, yaitu pihak-pihak yang terkait bisa bertindak tegas jika mendapati perilaku negatif dan cenderung melanggar aturan dan hukum yang berlaku. Kebijakan atau aturan yang diberlakukan pada dasarnya merupakan aturan hukum untuk kemaslahatan bersama dan aturan muncul bukanlah untuk dilanggar.

Advertisement

Jika terbukti panitia penerimaan siswa baru mendapati calon siswa mendaftarkan diri dengan SKTM palsu ataup fiktif, alangkah baiknya panitia tidak sekadar mengeluarkan calon siswa tersebut. Segala bentuk pelanggaran aturan  berarti melanggar hukum. Pengelola sekolah, wajib melaporkan pemalsuan dokumen tersebut kepada kepolisian.

Jika sanksi tidak diberlakukan secara tegas, masyarakat cenderung mengabaikan sisi hukum dan menganggap perilaku negatif semacam itu sebagai wajar dan normal. Jika ada sanksi yang lebih tegas, besar kemungkinan masyarakat tak akan melanggarnya.

Diberlakukannya syarat-syarat tertentu sebetulnya memberikan kesempatan  yang luas bagi masyarakat itu sendiri, namun tidak jarang kebijakan tersebut berdampak kontraproduktif karena masyarakat memanfaatkannya dengan melihat celah yang bisa diatur dan kemungkinan bisa disiasati.

Selanjutnya adalah: Penerimaan siswa baru sudah banyak…

Siswa Baru

Ketika proses awal penerimaan siswa baru sudah banyak mengandung permasalahan, yang kita khawatirkan adalah proses selanjutnya dalam dunia pendidikan itu sendiri dan kebiasaan masyarakat berperilaku menyimpang dalam merespons kebijakan nasional maupun regional.

Pemerintah wajib meninjau ulang kebijakan tanpa harus menunggu waktu yang lebih lama sebab semakin lama dibiarkan akan semakin rusaklah wajah dunia pendidikan nasional. Banyak ketidakadilan, banyak kebohongan, dan banyak pula kompetisi semu dalam pendidikan. Inilah yang saya sebut sebagai anomali sosial.

Pemerintah sebaiknya lebih bijak dalam menetapkan kebijakan terutama yang terkait keluarga miskin. Artinya aspek sosial perlu diutamakan tetapi jangan melupakan sisi ekonominya, yakni agar sekolahan memiliki kemampuan finansial untuk membuat banyak kegiatan pembelajaran yang berkualitas.

Di wilayah perkotaan sudah mulai muncul fenomena sekolahan-sekolahan yang tidak memiliki kemampuan finansial sehingga  menurunkan kualitas kelembagaan dan pembelajaran secara signifikan. Di wilayah perdesaan,  bahkan wilayah pelosok, masih banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bisa menikmati kenyamanan bersekolah  karena minimnya sarana dan prasarana pembelajaran.

Yang terbaik adalah pemerintah menetapkan kebijakan yang berkualitas dalam dunia pendidikan disertai upaya mengedukasi masyarakat agar tidak berperilaku semena-mena demi keinginan individu yang  cenderung melanggar hukum.

Anggaplah fenomena PPDB tahun ini sebagai pembelajaran berharga yang harus menjadi perhatian besar pemerintah dan masyarakat karena nasib bangsa pada masa depan sangat tergantung pada kualitas pendidikan tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.

Proses awal dalam penerimaan siswa baru yang salah akan berdampak serius pada nasib generasi masa mendatang. Generasi mendatang cenderung akan menjadi generasi yang tidak berkualitas dan generasi yang salah kaprah akibat dari kebijakan pendidikan yang salah.

Fenomena anomali sosial akibat sebagian masyarakat lebih mengutamakan kepentingan dan keinginan individu akan meracuni generasi bangsa ini. Ingatlah selalu bahwa nasib bangsa mendatang sangat bergantung pada kualitas pendidikan sekarang.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif