Kolom
Sabtu, 17 Juni 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Meneguhkan Pancasila

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mudhofir Abdullah

Gagasan ini dimuat Solopos edisi Sabtu (3/6/2017). Esai ini karya Mudhofir Abdullah yang kini menjabat Rektor Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Solopos.com, SOLO — Pancasila sedang dikaji kembali makna dan efektivitasnya sebagai dasar negara. Sebagai ideologi, hidup mati Pancasila sangat bergantung pada para elite bangsa  yang menyusun argumen filosofisnya sehingga relevan dengan aspirasi masyarakat.

Advertisement

Nilai-nilai Pancasila harus diremajakan agar mampu menampung perkembangan bangsa dalam dunia yang terus berubah. Pancasila bukanlah ideologi tertutup yang mirip agama. Pancasila itu ideologi terbuka.

Pengertian terbuka bukan berarti tafsirnya “mulur-mungkret” menurut kepentingan golongan, tapi terbuka dalam nilai-nilai tekniknya: metodologi, cabang-cabang, dan detail-detailnya. Pada nilai-nilai prinsipielnya, Pancasila tidak berubah dan merupakan inti jiwa dan tubuh bangsa Indonesia.

Advertisement

Pengertian terbuka bukan berarti tafsirnya “mulur-mungkret” menurut kepentingan golongan, tapi terbuka dalam nilai-nilai tekniknya: metodologi, cabang-cabang, dan detail-detailnya. Pada nilai-nilai prinsipielnya, Pancasila tidak berubah dan merupakan inti jiwa dan tubuh bangsa Indonesia.

Nilai-nila yang bersifat ”DNA” ini menurut saya adalah nilai-nilai prinsipiel yang dapat diterima bangsa-bangsa beradab. Menarik ketika Menteri Agama menyatakan Pancasila adalah hasil galian Bung Karno dari kearifan lokal bangsa yang religius.

Sila-sila Pancasila adalah pengejawantahan dari religiositas bangsa. Menteri Agama mengingatkan agar kita jangan memahami sila-sila Pancasila secara terpisah-pisah. Harus holistik dan utuh dari spirit kelima sila. Pancasila menolak setiap gerakan ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Advertisement

Tak mengherankan muncul beberapa gerakan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Wacana yg berkembang adalah agar dihidupkan kembali gerakan Pedoman Penghayatan dna Pengamalan Pancasila (P4) dan penelitian khusus (litsus) pada setiap calon aparatur sipil negara (ASN) seperti zaman Orde Baru.

Ada juga usulan peneguhan Pancasila melalui gerakan pendidikan dan kebudayaan, bukan dengan P4 dan litsus. Wacana lain tentu ada. Saya lebih setuju peneguhan Pancasila itu melalui gerakan pendidikan dan kebudayaan. ASN diatur tersendiri dalam undang-undang dan melibatkan peran inspektorat dalam prosedurnya. Indoktrinasi ideologi Pancasila tidak lagi efektif.

Zaman sudah berubah. Pandangan-pandangan dunia baru generasi millennials memerlukan metodologi baru yang lebih pas. Francis Fukuyama menulis The End of Ideology yang argumen pokoknya menegaskan ideologi tidak lagi menentukan bentuk-bentuk respons sosial-politik, tapi yg terpenting menguatnya trust dan kerja sama. Inilah yang oleh Robert Putnam disebut sebagai social capital (modal sosial).

Advertisement

Modal-modal sosial tersebut harus dirawat melalui gerakan pembangunan berkeadilan bersinergi dengan pendidikan serta kebudayaan. Dalam kerangka pengertian inilah Pancasila menemukan makna sejatinya. Sebagai ideologi yang rumusannya bersifat filosofis, sosiologis, dan historis Pancasila memiliki kekurangan dan keterbatasan.

Wajar dulu diperdebatkan oleh kelompok-kelompok strategis secara sengit, bahkan hampir menimbulkan perpecahan di sidang-sidang konstituante sampai akhirnya kembali ke UUD 1945. Para founding fathers menemukan kata sakti bahwa Pancasila adalah sebuah “perjanjian luhur”.

Kata ini bersejarah karena mampu meredakan konflik antargolongan yang pro dan kontra terhadap Pancasila. Frasa “Pancasila sebagai perjanjian luhur” merupakan konsensus kebangsaan yang sangat historis dan harganya sangat mahal.

Advertisement

Selanjutnya… Konsensus Sokong NKRI

Konsensus

Konsensus itu menyokong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sampai sekarang dan masa-masa yang akan datang. Tepat sekali ketika Robert Elson–seorang intelektual Australia–menyebut Indonesia sebagai keajaiban dan kesuksesan eksperimen sosial besar  yang terjadi pada abad ke-20.

Ajaib dan berhasil, kata Elson, karena Indonesia berasal dari imajinasi tentang masyarakat bangsa yang bersatu dan terus bertahan hingga sekarang. Ini berkat Pancasila sebagai karunia Tuhan melalui ”letupan vulkanis” pikiran-pikiran para perumusnya.

Saya baru mengerti sekarang mengapa ada istilah Hari Kesaktian Pancasila. Pancasila terus sakti jika seluruh elemen bangsa merasa terikat dengan perjanjian luhur. Persatuan menjadi kuat kembali dan perpecahan terhindarkan. Bukankah perpecahan adalah kelanjutan dari kesepakatan yang gagal?

Demikian pentingnya Pancasila–dan UUD 1945, NKRI, dan kebinekaan–sehingga mempertahankan dan mengamalkannya adalah jihad. Bangsa Indonesia telah keluar dari masa-masa sulit perpecahan dan tragedi-tragedi berdarah oleh gerakan sparatisme.

Dalam kurun waktu setengah abad sejak tragedi 1965, bangsa ini mengalami masa-masa tenang dan stabil. Masa ketika bangsa Indonesia membangun di segala bidang. Kita sejak itu tak pernah menjadi pengungsi seperti warga Suriah, Irak, Libia, dan lain-lain.

Ada interupsi pada 1998, namun dapat diatasi. Bukankah masa-masa tenang bangsa ini begitu berharga bagi pembangunan? Ini harus dipertahankan. Menarik sekali pernyataan Menteri Agama yang secara peyoratif mengatakan kita masih “waras” sehingga tak akan mengubah Pancasila dengan ideologi lain. Ia ingin mengatakan hindarkan Pancasila dan tiga pilar lainnya dari gerakan orang-orang tidak waras.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif