News
Jumat, 16 Juni 2017 - 23:30 WIB

Pelit Anggaran Riset, Indeks Inovasi Indonesia Kalah dari Vietnam

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana kerja buruh pabrik sepatu. (Wahyu Darmawan/JIBI/Bisnis)

Indeks inovasi Indonesia kalah jauh dari Vietnam. Hal ini diduga terkait kebijakan anggaran riset yang pelit.

Solopos.com, JAKARTA — Dibandingkan negara-negara lain di ASEAN, Indonesia dinilai masih cukup lambat dalam memacu inovasi di dalam negeri. Dalam laporan Global Inovative Index (GII) 2017 yang ditulis oleh Cornell University, INSEAD, dan World Intellectual Property Organization (WIPO), Indonesia hanya di posisi 87 dunia atau nomor tujuh di ASEAN.

Advertisement

Posisi Indonesia hanya beranjak satu peringkat dari tahun lalu yakni 88. Indonesia terpuruk jauh di bawah negara tetangganya seperti Singapura yang masuk di peringkat 10 besar dunia serta Malaysia di posisi 37 dan Vietnam di posisi 47. Vietnam bahkan berhasil melesat 12 tingkat dari tahun lalu karena unggul dalam pengeluaran untuk pendidikan.

Negara itu juga dianggap berkinerja baik dalam pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, investasi di seluruh sektor ekonomi, dan arus masuk investasi asing langsung. Indonesia sendiri masih dihadapkan pada persolan klasik seperti rumitnya regulasi pemerintah, rendahnya pendidikan masyarakat, pengembangan riset dan pengembangan (R&D) dan tingkat pengetahuan pekerja serta kesadaran dalam memanfaatkan paten.

Advertisement

Negara itu juga dianggap berkinerja baik dalam pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, investasi di seluruh sektor ekonomi, dan arus masuk investasi asing langsung. Indonesia sendiri masih dihadapkan pada persolan klasik seperti rumitnya regulasi pemerintah, rendahnya pendidikan masyarakat, pengembangan riset dan pengembangan (R&D) dan tingkat pengetahuan pekerja serta kesadaran dalam memanfaatkan paten.

GII dalam laporannya meletakkan Indonesia pada posisi 120 dari 130 negara yang disurvei dalam hal inovasi pada institusi dalam negeri, baik swasta maupun nasional. Dari tiga sub komponen yang disurvei, yakni iklim politik, regulasi, dan berbisnis, hampir semuanya berada di bawah peringkat 80.

“Fakta ini tentu sangat memengaruhi ekonomi kita secara umum. Industri kita seharusnya sudah naik kelas ke teknologi tinggi. Karena inovasi yang rendah kita jadi terjebak di tingkatan industri menengah,” ujar Direktur Penelitian Core Indonesia M. Faisal.

Advertisement

Sementara itu, terkait iklim berbisnis, inovasi dalam hal kemudahan berbisnis menjadi yang paling buruk nilainya sehingga harus terdampar ke posisi 112.

“Memang cukup sulit dan butuh waktu lama untuk melakukan perubahan, karena kecepatan inovasi ini berkaitan dengan kultur masyarakat kita sendiri. Tetapi laporan ini setidaknya harus menjadi warning bagi Indonesia untuk segera berbenah,” kata Josua Pardede, ekonom PT Bank Permata, Jumat (16/6/2017).

Selain itu, yang menjadi sorotan bagi Indonesia dalam laporan ini adalah pengembangan pada sumber daya manusia dan riset. Tanah Air dinilai cukup lambat dalam mendorong pendidikan masyarakatnya, sehingga GII menempatkan penilaian pada Indonesia pada komponen tersebut pada posisi 103.

Advertisement

Indonesia dianggap cukup pelit dalam membelanjakan anggarannya untuk sektor riset dan pengembangan. Tak heran jika GII menempatkan Indonesia pada posisi 105. Bahkan dalam sub penilaian tingkat pemanfaatan hasil riset dan pengembangan, negara ini juga dinilai sangat rendah.

Hal ini menjadi kontras ketika kolaborasi penelitian dari universitas atau lembaga riset memeroleh nilai yang cukup tinggi, yakni pada posisi 26 dari 130 negara.

“Menjadi wajar ketika Indonesia harus tertingal dari Singapura atau bahkan Vietnam lantaran porsi belanja riset dan pengembangan terhadap PDB negara-negara itu mencapai 2,5%. Sedangkan Indonesia baru masih di abwah 1% dan telah bertahan selama tiga tahun terakhir,” kata Bhima Yudistira, ekonom Indef.

Advertisement

Adapun, berdasarkan data dari CORE Indonesia, belanja pemerintah untuk riset dan pengembangan hanya mencapai 0,08% pada tahun lalu. Jumlah itu ada di bawah Malaysia yang mencapai 1,03%, Vietnam 0,19%, China 2,01%, India 0,82% dan Korea Selatan 4,15%.

Di sisi lain, rapor buruk juga diberikan GII pada pengetahuan pekerja, pelatihan formal bagi pekerja dan peningkatan pengetahuan bagi pekerja. Hasil penilaian pada ketiga komponen itu menempatkan indonesia berada di bawah peringkat 90, dengan posisi pengetahuan pekerja menjadi yang terendah yakni 123.

Bhima menilai fakta tersebut harus menjadi perhatian bagi pemerintah maupun perusahaan-perusahaan di Indonesia. Rendahnya pengetahuan pekerja berpeluang menggerus produktivitas dari pekerja itu sendiri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif