Kolom
Jumat, 16 Juni 2017 - 05:00 WIB

GAGASAN : Ramadan di Kampung

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Udji Kayang Aditya Supriyanto

Gagasan ini dimuat Harian Solopos, Kamis (15/6/2017), karya Udji Kayang Aditya Supriyanto, peminat kajian budaya populer dan perkotaan.

Solopos.com, SOLO–Ramadan datang membawa ingatan nostalgia atas peristiwa hidup di kampung. Bertahun-tahun lalu warga kampung di Kelurahan Karangasem, Kecamatan Laweyan, Kota Solo, senantiasa menyambut Ramadan dengan meriah.

Advertisement

Warga Soropadan, Klangsuran, Gulon, Kleco, dan kampung-kampung sekitarnya tumpah ruah mengikuti kegiatan massal bertajuk Jalan Sehat Umat Islam se-Karangasem. Jalan sehat diselenggarakan pada hari Minggu terakhir (tentu saja mereka memakai sebutan Ahad) di bulan Syakban.

Jalan sehat berlangsung sejak pagi yang dengan diawali sambutan singkat dari petinggi Pemerintah Kota Solo. Tak jarang sambutan langsung disampaikan oleh wali kota. Joko Widodo yang kala itu masih menjabat Wali Kota Solo pernah memberikan sambutan dan menyumbang sepeda untuk disertakan sebagai hadiah undian (doorprize).

Jauh sebelum menjelma menjadi orang nomor satu di negeri ini, Joko Widodo memang hobi membagikan sepeda. Warga Karangasem tidak perlu menyebut nama-nama ikan untuk mendapat sepeda dari Joko Widodo, apalagi sampai salah sebut ikan tongkol.

Advertisement

Mereka cukup mendaftar ke panitia jalan sehat, mendapat tiket dengan nomor undian, dan jika beruntung sepeda bisa dimiliki. Selain sepeda, masih banyak hadiah undian lain yang juga menggoda, ada sembilan bahan pokok sampai alat-alat elektronik.

Peserta jalan sehat sering mencapai seribuan orang. Ini bisa dihitung dari nomor undian pada tiket peserta. Warga antusias mengikuti jalan sehat bukan semata-mata untuk memburu hadiah undian.

Jalan sehat akan menguatkan tubuh warga yang hendak berpuasa pada Ramadan. Jalan sehat memungkinkan warga terlibat dalam kemeriahan yang guyub. Kemeriahan memang jarang mereka dapatkan mengingat hampir tidak ada agenda yang melibatkan warga di taraf kelurahan.

Kegiatan-kegiatan untuk memeringati hari kemerdekaan Indonesia jamak mentok di taraf rukun warga (RW). Selain itu, Karangasem tidak pernah dipilih sebagai lokasi shooting acara musik pagi hari di televisi.

Advertisement

Jalan Sehat Umat Islam se-Karangasem menjadi penting sebagai upaya menanam kesadaran ruang bagi warga. Kesadaran ruang bukan sekadar bermakna spasial, namun juga sosial. Peserta berkeliling Karangasem dengan berjalan kaki, ruang-ruang dijamahi dengan lambat dan penuh pengamatan.

Rumah-rumah tetangga hingga kenalan jauh terlihat. Berbagai peristiwa yang melibatkan peserta jalan kaki dan pemilik rumah lantas teringat. Pengamatan menuntut bertanya: sekarang kerja di mana, anaknya sudah menikah belum, dan sebagainya.

Pertanyaan menuntun ke pengerabatan ulang, mengencangkan tali silaturahmi yang renggang. Kala belakangan ini pegiat kampung di Jogja, Solo, dan Semarang rajin mengadakan pemetaan kolaboratif maka Jalan Sehat Umat Islam se-Karangasem sebetulnya adalah bentuk primitif dari pemetaan itu.

Seribuan indra para peserta jalan sehat membentuk gagasan ruang di kampung, mencari kebaruan dari tahun lalu, dan menggambar peta di kepala masing-masing. Peta dibentuk dengan jejak kaki, pengamatan ruang-ruang yang dilewati, dan perbincangan yang terjadi.

Advertisement

Hanya saja, ketika itu mereka memang belum mempunyai teknologi perekaman yang memungkinkan peta mewujud dalam citra. Peta kampung adalah ingatan dan kata-kata. Setelah era pemerintahan Joko Widodo sebagai wali kota, Solo menjelma menjadi kota yang berbeda hari ini.

Selanjutnya adalah: Perbedaan tidak ditakar lewat…

Perbedaan

Perbedaan tidak ditakar lewat penambahan baik atau buruk. Perbedaan terbaca dari kecenderungan umat Islam dalam memilih ruang. Kini keberislaman seakan-akan harus ditunjukkan di ruang-ruang kota: Jl. Slamet Riyadi, bundaran Gladak, dan sebagainya.

Advertisement

Kerumunan umat Islam Solo semakin menjauhi urusan kampung mereka sendiri, ruang yang berkait dengan hidup keseharian mereka sendiri. Mereka justru bersuara lantang untuk isu-isu di kejauhan, terkhusus gejolak di ibu kota.

Sambutan Joko Widodo yang mengawali Jalan Sehat Umat Islam se-Karangasem bertahun-tahun lalu tidak cukup didefinisikan dengan ”pernah”, melainkan ”terakhir”. Setelah itu keberislaman dan kemeriahan menyambut Ramadan di kampung tiada.

Tanpa gerak dan tanpa bunyi, kampung berjumpa Ramadan tahun ini. Gerak kaki-kaki melangkahi jalanan kampung tak terdengar lagi. Gerak menyambut Ramadan cuma berasal dari tukang-tukang yang merenovasi masjid atau takmir dan remaja masjid yang ramai-ramai memasang spanduk, entah di masjid maupun sekujur kampung.

Beberapa masjid direnovasi menjelang Ramadan, misalnya Masjid At-Taufiq di Soropadan dan salah satu masjid di Bulak Indah. Renovasi Masjid At-Taufiq tak muluk-muluk. Takmir ingin supaya masjid bisa memuat jemaah Salat Tarawih yang melimpah.

Lantai masjid diperpanjang ke belakang. Lantai baru itu kemudian diperuntukkan tempat sujud jemaah perempuan. Renovasi masjid Bulak Indah berbeda nasib. Entah karena salah perhitungan atau kurang pertimbangan, renovasi belum selesai sampai Ramadan tiba.

Dalam dugaan saya, mustahil takmir masjid itu sengaja merenovasi masjid bertepatan dengan Ramadan, ketika jemaah masjid sedang penuh-penuhnya. Dua kemungkinan menjadi logis, kendati kita tak mesti ambil pusing.

Advertisement

Tidak ada anjuran merenovasi masjid saat Ramadan. Anjurannya adalah menghidupkan masjid. Masjid menjelma menjadi ruang strategis saat Ramadan, menjadi pusat keramaian kampung sepanjang bulan.

Ramai di masjid tentunya tak boleh meriah. Masjid mensyaratkan kekhusyukan: dilarang berisik, harap telepon genggam dimatikan. Kecenderungan relatif baru tampil lewat spanduk-spanduk yang menggantung di sekujur kampung.

Di Soropadan spanduk-spanduk menyambut Ramadan bertebaran, antara lain berisi imbauan memperbanyak ibadah dan mengingatkan pentingnya sedekah serta zakat. Spanduk mensubstitusi sekian ritual menyambut Ramadan: padusan, jalan sehat, dan lain sebagainya.

Keberserahan pada spanduk barangkali menandai kekalahan menghadapi gempuran media dan komodifikasi. Kita mendapati penyambutan Ramadan paling sahih bukan lagi agenda kultural di kampung, melainkan iklan sirup yang sejak kemarin hari bergentayangan di televisi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif