News
Minggu, 11 Juni 2017 - 19:00 WIB

Anggaran Pansus Angket KPK, DPR Berpotensi Salah Gunakan Uang Rakyat

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar (kedua kiri) didampingi Risa Mariska, dan Taufiqulhadi berbincang dengan anggota pansus Masinton Pasaribu (kedua kiri) sebelum rapat perdana di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/6/2017). (JIBI/Solopos/Antara/M Agung Rajasa)

Pemberian anggaran Rp3,1 miliar untuk Pansus Angket KPK DPR dinilai berpotensi menyalahgunakan uang rakyat.

Solopos.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap berpotensi menyalahgunakan uang negara Rp3,1 miliar untuk membiayai Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Advertisement

Peneliti Indonesia Budjet Center (IBC), Roy Salam, mengungkapkan sesuai dengan Undang-undang (UU) No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, penggunaan anggaran negara harus berlandaskan prinsip ketaatan pada aturan yang berlaku. “Padahal kita ketahui bersama, pembentukan pansus melalui usulan hak angket itu prosesnya cacat hukum,” ujarnya, Minggu (11/6/2017).

Dia mengatakan kecacatan terhadap aturan tersebut tersebut yakni pembentukan panita angket yang belum memenuhi ketentuan Pasal 201 UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DD, dan DPRD yang menyebutkan keanggotaan panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi. Hingga saat ini terdapat tiga fraksi yang belm mengirim perwakilan PKS, Demokrat, dan PKB.

Advertisement

Dia mengatakan kecacatan terhadap aturan tersebut tersebut yakni pembentukan panita angket yang belum memenuhi ketentuan Pasal 201 UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DD, dan DPRD yang menyebutkan keanggotaan panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi. Hingga saat ini terdapat tiga fraksi yang belm mengirim perwakilan PKS, Demokrat, dan PKB.

Atas dasar persoalan legitimasi hak angket, pembiayaan panitia yang dibentuk melalui proses yang cacat hukum ini berpotensi merugikan keuangan negara. Atas dasar itulah, menurutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melakukan audit investigasi perihal penggunaan keuangan negara tersebut.

Sebagaimana Pasal 202 ayat 1 dan 2 UU No 17/2014, panitia angket beserta penentuan biaya ditetapkan melalui keputusan DPR dan diumumkan dalam berita negara. Segala biaya yang timbul dari pembentukan panitia angket dan proses penyelidikan bersumber dari anggaran DPR.

Advertisement

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa di luar persoalan sah tidaknya persetujuan hak angket dan tepat tidaknya penggunaan hak tersebut, pembentukan pansus kental konflik kepentingan dan berpotensi merugikan negara.

“Terdapat partai dan nama-nama anggota panitia yang mempunya konflik kepentingan dengan KPK. Ada dua partai dan empat panitia angket yang namanya disebut dalam kasus korupsi KTP elektronik. Selain itu mayoritas panitia ada pihak yang selama ini merupakan pengusul revisi UU KPK,” paparnya.

Golkar dan PDIP menjadi bagian yang besar di antara tujuh fraksi yang mendukung panitia angket. PDIP mengirimkan enam perwakilan dan Golkar mengirimkan lima nama. Dua partai ini secara jelas disebut dalam dakwaan menerima aliran dana korupsi proyek KTP elektronik.

Advertisement

“Sulit memisahkan penggunaan hak angket DPR dengan kasus KTP elektronik yang tengah ditangani sebab dalam kasus ini khususnya kesaksian Miryam Haryani merupakan latar belakang diusulkannya hak angket oleh Komisi III DPR,” paparnya.

Secara individu, paparnya, terdapat anggota panitia hak angket yang memiliki konflik kepentingan dengan KPK. Salah satunya adalah Agun Gunandjar dari Partai Golkar yang kemudian menjadi ketua panitia angket. Pasalnya, dia disebut oleh Muhammad Nazarudin, menerima aliran dana korupsi KTP elektronik dan sudah diperiksa pula oleh KPK.

Tidak hanya itu, ada juga nama lain yang mempunyai kepentingan karena disebut dalamn kasus korupsi tersebut. Mereka adalah Masinton Pasaribu, Bambang Soesatyo, dan Desmon Mahesa yang disebut oleh Novel Baswedan dalam persidangan. Ketiganya disebut berperan dalam menekan Miryam S. Haryani agar tidak mengakui pembagian uang proyek e-KTP.

Advertisement

Melihat potensi konflik kepentingan itu, kata patut dicurigai penyelidikan DPR terhadap KPK melalui penggunaan hak angket lebih ditujukan untuk mengintervensi penanganan kasus KTP elektronik dan upaya pelemahan KPK akibat ditundanya upaya DPR untuk merevisi UU KPK.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif