Jatim
Sabtu, 10 Juni 2017 - 21:05 WIB

KULINER PONOROGO : Pengrajin Kian Langka, Begini Uniknya Pengolahan Gempol Khas Jabung

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pengrajin gempol Desa Jabung, Kecamatan Mlarak, Ponorogo, Misringah, memarut adonan tepung beras untuk dijadikan gempol di rumahnya, Kamis (8/6/2017). (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Kuliner Ponorogo, gempol merupakan salah satu khasanah kuliner khas Ponorogo yang kini pengrajinnya semakin langka.

Madiunpos.com, PONOROGO — Bagi Anda yang pernah memakan dawet jabung khas Ponorogo tentu akan menemukan campuran dalam dawet itu berupa bulatan putih yang rasanya tawar. Bulatan putih itu bernama gempol.

Advertisement

Meski bentuknya terlihat sederhana, namun pembuatan gempol cukup rumit dan tidak sembarang orang bisa membuatnya. Saat ini, pengrajin gempol di Desa Jabung, Kecamatan Mlarak, Ponorogo, yang menjadi pusat produksi dawet jabung hanya tersisa tiga orang.

Salah satu pengrajin gempol adalah Misringah, 51, warga RT 003/RW 003, Desa Jabung. Di rumahnya, setiap hari ribuan butir gempol diproduksi dan menjadi pemasok utama untuk penjual dawet Jabung di wilayah Mlarak. Selain itu, gempol produksinya juga diminati warga Wonogiri, Trenggalek, Madiun, hingga Tulungagung.

Advertisement

Salah satu pengrajin gempol adalah Misringah, 51, warga RT 003/RW 003, Desa Jabung. Di rumahnya, setiap hari ribuan butir gempol diproduksi dan menjadi pemasok utama untuk penjual dawet Jabung di wilayah Mlarak. Selain itu, gempol produksinya juga diminati warga Wonogiri, Trenggalek, Madiun, hingga Tulungagung.

Dalam memproduksi gempol, Misringah dibantu oleh suaminya, Jemanu, 43. Madiunpos.com berkesempatan untuk melihat proses pembuatan gempol di rumah produksi Misringah, Kamis (8/6/2017) siang.

Di siang yang terik itu, Jemanu terlihat menggiling beras yang telah dicuci bersih dengan menggunakan mesin penggiling. Setelah menjadi tepung, selanjutnya tepung beras itu dipadatkan dan dimasukkan ke dalam panci pengukus yang telah dipanaskan di bara api.

Advertisement

Setelah berbentuk seperti bola, kemudian adonan itu diparut menggunakan parutan. Adonan yang telah diparut itu kemudian dibulatkan dengan ukuran seperti bola pimpong. Setelah itu, gempol yang setengah matang itu dikukus kembali dalam waktu satu jam.

Menurut Misringah, bagian pembulatan itu yang dianggap sangat sulit dalam seluruh proses pembuatan gempol. Pada saat membulatkan gempol yang diperlukan adalah perasaan dan tekanan dalam memadatkan adonan yang telah diparut. Jika tekanannya tidak sesuai, adonan saat dikukus akan menjadi keras atau bisa juga menjadi mekar.

“Seluruh proses pembuatan gempol yang paling sulit yaitu di bagian membuat bulatan dari parutan adonan. Kalau bagian mengolah adonan mudah,” jelas ibu tiga anak ini.

Advertisement

Butuh Ketelatenan

Proses yang sulit ini membuat dirinya harus membuat sendiri bulatan gempol, karena suami beserta karyawannya tidak bisa membuatnya. “Suami hanya mengolah adonan saja. Dulu ada karyawan yang mencoba membuat bulatan gempol ini, tetapi setelah itu saya ulangi lagi karena hasilnya tidak bagus,” kata dia.

Dia menceritakan beberapa kali orang dari berbagai daerah seperti Surabaya, Bandung, dan beberapa kota lain berkunjung ke rumah dan belajar untuk pembuatan gempol. Namun, dari sejumlah orang yang belajar ke rumahnya tidak ada yang berhasil membuat gempol.

Advertisement

Menurut Misringah, dalam membuat bulatan gempol memang dibutuhkan ketelatenan dan menggunakan perasaan. Lantaran proses yang sulit ini, kini pengrajin gempol hanya tinggal hitungan jari saja. Anak-anaknya juga tidak ada yang meneruskan usaha pembuatan gempol itu.

Jemanu mengakui pembuatan gempol bisa dibilang gampang-gampang susah. Ia sudah berkali-kali mencoba untuk membuat gempol, tetapi selalu gagal. Sehingga saat ini dirinya hanya diberi tugas untuk mengolah adonan.

Lebih lanjut, dia menyampaikan setiap hari rata-rata dirinya menghabiskan 20 kg tepung beras untuk pembuatan gempol. Untuk 5 kg tepung beras menghasilkan 1.500 butir gempol. Sedangkan harganya yaitu Rp20.000 untuk 100 biji.

Permintaan gempol akan meningkat pada saat Lebaran dan ada kegiatan besar, seperti tahun baru, bulan sura, dan pendaftaran santri Pondok Gontor. Namun, karena keterbatasan tenaga yang bisa membuat bulatan gempol, terkadang ia harus menolak pesanan.

“Sebenarnya ada beberapa orang dari daerah lain mau pesan, tetapi karena tidak ada tenaga yang bisa membuat gempol, banyak pesanan yang tidak kami terima,” kata Jemanu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif