Kolom
Sabtu, 10 Juni 2017 - 07:00 WIB

GAGASAN : Etika dan Hukum di Media Sosial

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agus Riewanto

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (9/6/2017), Agus Riewanto, pengajar Fakultas Hukum UNS

Solopos.com, SOLO–Baru saja kita melihat fenomena tindakan persekusi, yakni tindakan pemburuan secara sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga kemudian disakiti atau diintimidasi dan dianiaya karena mengekspresikan pandangan politik yang berbeda di media sosial.

Advertisement

Kata ”persekusi” ini telah lama ada, namun baru menjadi viral akhir-akhir ini dan melahirkan sejumlah perdebatan publik karena istilah persekusi ini tidak lazim digunakan dalam kejahatan hukum pidana biasa, namun hanya jamak digunakan dalam kejahatan hak asasi manusia (HAM) yang melibatkan struktur negara secara masif dan sistematis.

Itulah sebabnya kalau ada tindakan pemburuan secara sewenang-wenang oleh sekelompok orang atau anggota organisasi kemasyarakatan tertentu yang jumlahnya terbatas terhadap seseorang atau sejumlah warga yang mengekspresikan pendapat berbeda, seperti terjadi di Solok yang menimpa seorang dokter dan seorang remaja berinisial PMA di Jakarta, tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan persekusi, melainkan tindakan pelanggaran hukum pidana biasa.

Terlepas dari penggunaan istilah persekusi yang masih menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, apa pun istilahnya tindakan menyakiti dan mengintimidasi orang lain hanya karena memiliki pandangan berbeda yang diekspresikan melalui media sosial tidaklah tepat dan tetap dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

Itulah sebabnya diperlukan tindakan preventif agar perang urat syaraf antarwarga negara karena berbeda pandangan politik yang diekspresikan di media sosial tidak menjadi bibit konflik yang meluas. Tindakan perventif ini adalah sebuah keniscayaan.

Jika skala kecil perang urat saraf dalam wacana dunia maya telah berubah menjadi konflik di dunia nyata dalam bentuk penyerangan fisik dan intimidasi, tentu ini pertanda ruang ekspresi publik sedang menuju kematian.

Dulu media sosial diterima publik sebagai media alternatif untuk ”melawan” media massa mainstream atau pers yang tak berpihak kepada kepentingan rakyat dan sangat menggembirakan karena publik disuguhi alternatif wacana yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Media sosial bukan saja media hiburan alternatif tapi juga sarat opini dan berita yang tajam dan sebagian objektif. Kini tampaknya media sosial mulai  kehilangan jati diri dan elan vitalnya karena telah bermetamorfosis menjadi media saling serang, saling tuduh, saling fitnah, dan wahana penyebaran berita bohong (hoaks).

Advertisement

Daya rusak media sosial untuk mengoyak rajutan kebersamaan yang berbasis perbedaan suku, ras, agama, dan golongan di negeri ini begitu kuat, apalagi di tengah situasi politik menjelang pemilihan kepala daerah serentak 2018 serta pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada 2019.

Selanjutnya adalah: Pasti menjadi wahana saling menghujat…

 

Saling menghujat

Media sosial pasti akan menjadi wahana untuk saling menghujat dan saling memfitnah yang tak berkesudahan. Itulah sebabnya diperlukan aneka cara untuk memperkuat kesadaran serta menginternalisasi nilai-nilai etika dalam menggunakan media sosial, yaitu sikap bijak dan hati-hati agar tidak menyulut aksi persekusi dan pelanggaran hukum.

Internalisasi etika dalam penggunaan media sosial dapat dimulai dari sikap untuk saling menghormati perbedaan suku agama, ras,  golongan, pendapat, sikap politik, dan perbedaan lainnya sebab secara alamiah manusia dilahirkan dalam bentuk yang berbeda. Perbedaan itu harus menyatukan, bukan malah memecah belah.

Problematika saling hujat di media sosial perlu dibedah secara filosofis. Pemicu utamanya perlu dicari secara tepat agar dapat melahirkan solusi yang tepat pula. Salah satu pangkal masalahnya pada krisis relasi satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainya karena perbedaan-perbedaan itu.

Advertisement

Cara mengatasi krisis relasi itu ialah dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan untuk diakui, diterima, memiliki dan dimilik, serta yang paling penting adalah aktualisasi diri secara positif.

 Revisi UU ITE

Tugas pememerintah adalah memfasilitasi ruang-ruang dialog dan relasi positif antargolongan dalam masyarakat dengan pertama-tama pemerintah perlu berada dalam posisi netral dalam kebijakan politik dan hukum (legal policy) sehingga pemerintah memiliki wibawa yang kuat di mata masyarakat.

Lebih dari itu, pemerintah perlu memperkuat aspek legitimasi dalam mengelola penggunaan media sosial yang kian masif dengan menyusun road map atau peta jalan pengaturan dan manajemen lalu lintas informasi positif di media sosial dengan merevisi UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektorik (UU ITE).

Sejumlah kalangan berpendapat UU ITE yang baru saja direvisi ini merupakan ancaman demokrasi karena mengandung pembatasan kebebasan berekspresi di ranah media sosial.

UU ITE masih mengatur aneka ketentuan yang merepresentasikan dominasi pemerintah dalam mengawasi konten-konten media dan aturan tentang pencemaran nama baik.

Jika dipahami secara filosofis sesungguhnya demokrasi pada asasnya mengandung liberalisme dalam kebebasan berekspresi bagi setiap individu di semua ranah sosial baik melalui media online maupun offline. Asas ini tak dapat dibantah kebenarannya.

Advertisement

Asas demokrasi yang demikian  tak serta-merta dapat berlaku secara universal di seluruh pelosok dunia. Dalam demokrasi mengandung makna yang bersifat lokalitas berdasarkan nilai-nilai yang hidup dan terkandung dalam jiwa bangsanya (volksgeits).

Para pendiri bangsa ini telah menempatkan aspek nilai-nilai sila pertama dan kedua Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang bersumber pada ajaran agama-agama yang hidup dan diyakini oleh rakyat Indonesia.

Dengan demikian sikap religius dan kemanusiaan menjadi kunci nilai demokrasi khas Indonesia. Inilah jiwa demokrasi Indonesia (volksgeits). Demokrasi di Indonesia bukanlah demokrasi yang bersifat liberal dan individual sebagaimana dipraktikkan di negara-negara Barat.

Selanjutnya adalah: Kebebasan berekspresi tentu dibatasi…

 

Kebebasan berekspresi

Kebebasan berekspresi tentu dibatasi oleh kebebasan pada orang lain. Itulah sebabnya kebebasan berekspresi dibatasi oleh hak-hak masyarakat. Jika masyarakat yang lain terganggu atas cara kita berekspresi, di situlah batasnya.

Advertisement

UUD 1945 Pasal 28 J ayat (1) telah menjelaskan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemudian pada ayat (2) dijelaskan dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Pembatasan itu dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Membaca teks Pasal 28 J ayat (1) dan (2) UUD 1945 pasca-amendemen ini sesungguhnya tak ada yang keliru ketika negara mengatur soal kebebasan berekspresi melalui media elektronik dengan pembatasan tertentu sepanjang dimaksudkan untuk menjaga tertib sosial demi tegaknya nilai-nilai moral dan kemanusiaan.

Peran Pemerintah

UU ITE memantik kegalauan banyak kalangan karena  kuatnya pemerintah dalam mengawasi konten-konten media, seperti dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2a) yang menyatakan pemerintah berkewajiban mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik serta dokumen elektronik yang memiliki muatan negatif.

Pasal 40 ayat (2b) UU ITE menjelaskan dalam praktik pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), pemerintah berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Ketentuan ini tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi karena realitasnya tingkat akses informasi elektronik di Indonesia masih sebatas menggunakan sebagai media untuk saling mendominasi kebenaran dan menguatkan identitas ”kedirian” dan ”ke-aku-an” yang tinggi.

Advertisement

Praktik demikian ini berakibat kebenaran informasi dalam media menjadi sangat relatif. Media lebih cenderung dijadikan sebagai alat agitasi dan sekaligus fasilitas untuk saling menebar kebencian akibat perbedaan suku, agama, ras, dan golongan tertentu.

Akibatnya media kerap kali justru menjadi momok baru bagi lahirnya konten-konten negatif yang tidak bertanggung jawab, mulai dari ponografi, prostitusi, perjudian, bahkan arena kekerasan psikis dan yang lebih tragis media kini menjadi alat penipuan yang paling ampuh.

Lihatlah faktanya, berdasarkan laporan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, hingga September 2016 setidaknya kejahatan Internet (cyber crimes) didominasi oleh kasus penghinaan (638 kasus) dan penipuan informasi online (598 kasus).

Selanjutnya adalah: Penyebabnya karena rendahnya kecerdasan publik…

 

Kecerdasan publik

Salah satu penyebabnya adalah karena rendahnya kecerdasan publik dalam mengakses dan memanfaatkan informasi. Agar ketentuan Pasal  40 UU ITE tak dimanfaatkan pemerintah menjadi alat untuk mengontrol publik secara berlebihan yang mungkin dapat berakibat otoritarianisme, yang diperlukan adalah akuntabilitas pemerintah dalam menutup situs dengan konten negatif.

Advertisement

Pemerintah perlu mengumumkan mengapa menutup situs-situs yang berisi konten-konten tertentu dengan berbagai alasan ilmiah, logis dan bersumber pada nilai objektifitas publik, bukan pada subjektifitas pemerintah.

Terkait dengan soal pencemaran nama baik sebagimana ketentuan dalam Pasal 27  ayat (3) UU ITE yang telah disesuaikan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (3) dan (5) KUHP, menurut saya, tak akan menjadi pasal ”karet” (haatzai artikelen) sepanjang digunakan secara cermat dan dipahami secara utuh.

Ketentuan ini telah diubah dari delik umum menjadi delik aduan. Artinya sepanjang tidak ada pengaduan dari pihak yang dirugikan maka polisi tak dapat serta-merta menjustifikasi seseorang menjadi pemfitnah dan pencemar nama baik.

Ketentaun UU ITE juga telah mengubah ancaman sanksi pidana terhadap pelaku penghinaan maupun pencemaran nama baik dari kurungan enam tahun dan/atau denda senilai Rp1 miliar menjadi kurungan selama empat tahun dan/atau denda senilai Rp750 juta. Dengan perubahan ancaman kurungan badan serta denda, pelaku tak langsung ditahan polisi.

Untuk menghindari ketentuan Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik ini menjadi pasal “karet” UU ITE telah mengadopsi model penegakan hukum elektronik di Eropa, yakni adanya ketentuan mengenai right to be forgotten (hak untuk dilupakan).

Ketentuan tentang  pengaturan penghapusan informasi elektronik diatur dalam Pasal 26 ayat (3). Pasal ini menjelaskan setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Dalam Pasal 26 ayat (4) dijelaskan setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan revisi UU ITE ini diharapkan akan melahirkan internalisasi etika dan hukum sekaligus dalam penggunaan media sosial.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif