Kolom
Selasa, 6 Juni 2017 - 13:00 WIB

GAGASAN : Ketahanan Psikologis Mencegah Pelajar Bunuh Diri

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Saifuddin

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (5/6/2017). Esai ini ditulis Ahmad Saifuddin, dosen di Institut Agama Islam Negeri Surakarta dan Sekretaris Lakpesdam PCNU Kabupaten Klaten. Alamat e-mail penulis adalah ahmad_saifuddin48@yahoo.com

Solopos.com, SOLO–Pada Sabtu (3/6/2017) saya terkejut ketika membaca Harian Solopos. Di dalam koran tersebut terdapat satu berita tentang siswi SMP yang beralamatkan di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, nekat bunuh diri dengan cara menggantung diri.

Advertisement

Belum ada kejelasan apa penyebab siswi SMP ini bunuh diri. Kasus pelajar bunuh diri juga terjadi di beberapa daerah lainnya. Jika data tersebut ditambahkan dengan data bunuh diri pelajar (anak dan remaja) karena faktor akademis dan faktor lainnya, data akan menjadi lebih banyak. Setidaknya data tersebut harus menjadi peringatan keras bagi kita. Terdapat beberapa segi yang dapat dikaji mengenai fenomena bunuh diri pada anak dan remaja karena kegagalan akademis tersebut.

Pertama, orang tua sudah saatnya memperluas wawasan terkait kecerdasan. Kecerdasan bukan soal nilai akademis karena nilai akademis hanya sebagian kecil dari kecerdasan. Menurut Gardner & Hatch (1989) dalam Multiple Intelligence Go To School: Educational Implications of Theory Of Multiple Intelligence, pada dasarnya kecerdasan itu bermacam-macam bentuknya.

Ada kecerdasan numerikal/matematis logis, kecerdasan kinestetis, kecerdasan musikal, kecerdasan natural, kecerdasan spasial, kecerdasan linguistik, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan interpersonal. Dalam konteks fenomena siswi yang bunuh diri di Prambanan tersebut sebenarnya memiliki prestasi membaca puisi.

Advertisement

Prestasi ini harus ditonjolkan sehingga muncul kesadaran diri dan tidak mudah tertekan jika menemui kelemahan pada hal lain. Orang tua tidak akan mudah risau ketika nilai akademis anak kurang memuaskan jika memahami bahwa setiap manusia memiliki salah satu kecerdasan dari delapan kecerdasan tersebut.

Dengan memahami konsep tersebut, orang tua akan lebih bisa memahami kemampuan anak dan remaja yang sebenarnya, bukan memaksakan dan menekan agar mendapatkan nilai yang baik. Jika memang nilai akademis anak kurang memuaskan, orang tua bisa mendorongnya untuk meningkatkan nilai tersebut.

 

Selanjutnya adalah: Jika memang kemampuan anak dalam akademis terbatas…

Advertisement

 

Kemampuan akademis

Jika memang kemampuan anak dalam akademis terbatas, orang tua bisa mengembangkan kecerdasan lain pada diri anak. Di sekolahan juga terdapat banyak kegiatan ekstrakurikuler untuk mengasah bakat anak dan remaja.

Kedua, orang tua dan institusi pendidikan perlu mengajarkan penyelesaian masalah yang efektif dan membangun resiliensi anak. Salah satu indikator kapasitas intelektual adalah kemampuan menyelesaikan masalah secara efektif sehingga anak dan remaja bisa beradaptasi.

Advertisement

Anak dan remaja dibekali teknik menghadapi masalah dan kemudian memecahkannya. Bukan malah dihadapkan pada tekanan dan ketakutan. Anak dan remaja juga dibekali resiliensi. Menurut Wagnild (2009) dalam A Review Of Resilience Scale, resiliensi merupakan pelindung individu dari gangguan mental.

Menurut Edith Grotberg (1995) dalam A Guide To Promoting Resilience In Children: Strengthening The Human Spirit, resiliensi adalah kapasitas individu ketika menghadapi masalah, mengatasi permasalahan, bahkan menjadi lebih kuat dalam tekanan hidup yang berat.

Dengan resiliensi, anak dan remaja tidak akan mudah menyerah dan melakukan tindak bunuh diri ketika menemukan masalah, terlebih masalah kegagalan akademis yang notabene bukan masalah besar. Dengan resiliensi, anak dan remaja juga mampu menghargai dirinya sendiri.

Dalam konteks siswi bunuh diri di Prambanan tersebut, sebenarnya siswi tersebut memiliki keterampilan di bidang puisi dan ini menjadi titik penting pengembangan diri siswi tersebut.

Advertisement

Ketiga, penghargaan positif tanpa syarat oleh orang tua terhadap anak perlu ditingkatkan. Masih banyak orang tua yang memiliki anggapan bahwa keberhasilan anak diukur dari nilai akademis. Sebagai orang tua, pasti ingin anaknya memiliki kapasitas intelektual yang baik dengan meraih nilai yang memuaskan.

Orang tua akan kecewa dan marah ketika anak mendapatkan nilai yang kurang memuaskan. Terpenting adalah cara orang tua menyampaikan rasa kurang puas tersebut. Apakah harus dengan menyalahkan anak sehingga anak tertekan?

 

Selanjutnya adalah: Kita perlu belajar mengenai penghargaan tanpa syarat.

 

Penghargaan Tanpa Syarat

Advertisement

Kita perlu belajar mengenai penghargaan positif tanpa syarat, sebuah konsep yang dicetuskan oleh Carl Rogers (1902-1987), seorang psikoterapis sekaligus ilmuwan psikologi humanistis. Penghargaan tanpa syarat ini adalah salah satu prinsip dalam praktek konseling dan psikoterapi.

Penghargaan tanpa syarat juga bisa diimplementasikan dalam konteks yang luas dalam kehidupan sehari-hari. Secara garis besar, penghargaan positif tanpa syarat adalah menerima dan menghargai setiap proses dan hasil seseorang secara positif tanpa mengharuskan syarat tertentu.

Anak dan remaja perlu diberi penghargaan positif tanpa syarat karena akan menentukan kesehatan mental anak dan remaja. Ketika seorang anak dan remaja dihargai tanpa syarat maka seorang anak dan remaja akan merasa diterima penuh oleh keluarga sehingga akan terdorong untuk memperbaiki dirinya lagi.

Sebaliknya, ketika anak dan remaja dihargai dengan syarat, anak dan remaja berpotensi merasa tertekan dan muncul perasaan takut sehingga menimbulkan tekanan. Penghargaan positif tanpa syarat ini selain menerima positif setiap proses dan hasil dari anak dan remaja juga mendorong untuk memperbaiki hasil jika memang kurang memuaskan.

Keempat, institusi pendidikan dan psikolog perlu mengadakan psikoedukasi mengenai relasi antara nilai akademis dengan kecerdasan dan resiliensi (daya tahan) pada anak dan remaja. Dengan demikian, diharapkan anak dan remaja memiliki mindset atau pola pikir yang positif mengenai UN dan pembelajaran akademis.

Selain itu, anak dan remaja memiliki pandangan luas untuk menghargai dirinya bahwa nilai hanya salah satu hal yang mencerminkan dirinya, bukan satu-satunya. Di sisi lain orang tua juga mulai belajar memberikan respons positif kepada anak dan remaja sehingga anak dan remaja memiliki ketahanan psikologis yang tinggi dan tidak rentan bunuh diri.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif