Soloraya
Selasa, 30 Mei 2017 - 05:10 WIB

Tuntut Lahan Pengganti & Uang Tunggu, Warga Sragen Terdampak WKO Audiensi ke DPRD Jateng

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah warga Gunungsono, Gilirejo, Miri, menunjukkan dokumen kepemilikan tanah, Senin (29/5/2017) siang. (Kurniawan/JIBI/Solopos)

Warga terdampak WKO akan beraudiensi dengan DPRD Jateng terkait tuntutan lahan pengganti dan uang tunggu.

Solopos.com, SRAGEN — Puluhan warga sekitar Waduk Kedung Ombo (WKO) yang lahannya digunakan untuk proyek waduk tersebut kembali merencanakan aksi di Semarang, Rabu (31/5/2017).

Advertisement

Mereka akan menggelar audiensi dengan para legislator DPRD Jawa Tengah (Jateng). Selang dua hari berikutnya, tepatnya pada Jumat (2/6/2017), mereka dijadwalkan beraudiensi dengan Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati, dan jajarannya.

Safari audiensi warga sekitar WKO tersebut terkait permintaan mereka akan lahan pengganti dan uang tunggu kepada pemerintah. “Aksi ini untuk memperjuangkan rasa keadilan kami warga WKO. Kami menuntut tanah pengganti atas lahan milik kami yang digunakan untuk WKO. Kami juga menuntut uang tunggu selama puluhan tahun, dengan nilai setidaknya Rp10 juta per tahun,” ujar Wajiman, 65, Ketua Paguyuban Gunungsono Rahayu, saat diwawancarai Solo, Senin (29/5/2017).

Wajiman mengaku sudah melaporkan dugaan pelanggaran HAM dalam proyek WKO ke Komnas HAM. Dia menjelaskan lahan miliknya yang dipakai untuk proyek WKO tercatat seluas 32.000 meter persegi.

Advertisement

Wajiman mengaku mempunyai dokumen bukti kepemilikan lahan dan pembayaran uang ganti rugi. Dia menyebut dalam penentuan nilai ganti rugi tidak melalui proses musyawarah mufakat. Dia hanya disodori uang ganti rugi senilai Rp250 per meter persegi.

Wajiman tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima uang ganti rugi tersebut. Bila dia tidak menerima ganti rugi itu, hak dia justru akan hilang.

“Saat itu tidak ada musyawarah. Saya tidak pernah dipanggil oleh perangkat untuk musyawarah. Mereka bilang, kalau sampeyan tidak mau terima uang itu, nanti hak kalian malah hilang,” sambung dia.

Advertisement

Penuturan senada disampaikan Narno, warga Gunungsono, Gilirejo, Miri. Laki-laki lanjut usia itu juga salah satu warga pemilik lahan yang dipakai untuk genangan waduk.

Dia mengatakan tidak ada proses musyawarah dalam penentuan nilai ganti rugi lahan. Dia tahu-tahu hanya mendapat amplop berisi uang ganti rugi. Tapi berapa nilai uang tersebut, dia tidak tahu.

Parahnya lagi, menurut Narno, saat itu aparat pemerintah mengintimidasi warga pemilik lahan. Bagi warga yang tidak mau menerima uang ganti rugi bisa disebut sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mboten wonten musyawarah. Menawi mboten purun nampi artane disebutaken PKI ngoten [Tidak ada musyawarah. Kalau tidak mau menerima uang ganti rugi disebut PKI]. Orang tua saya didatangi tentara, beras sedikit diocar-acir [diobrak-abrik], bapak saya digebuki, dilempar ke mobil zaman semanten,” aku dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif