Jogja
Kamis, 25 Mei 2017 - 02:55 WIB

PERTANIAN JOGJA : Lahan Minim, Riset Bioteknologi Perlu Diperbanyak

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pertanian. (JIBI/Solopos/Dok)

Pertanian Jogja, lahan semakin menipis lantaran pertumbuhan penduduk terus meningkat

Harianjogja.com, JOGJA  – Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan pentingnya peran lebih yang harus diberikan pemerintah terhadap sistem pengolahan pangan, baik sisi produksi maupun konsumsi. Untuk meningkatkan sistem pengolahan pangan, menurut Sultan, pemerintah diharapkan bisa mendorong peningkatan riset bioteknologi.

Advertisement

Upaya itu harus segera dilakukan mengingat laju perubahan lahan pertanian ke non pertanian sementara lahan pertanian produktif makin terbatas sedangkan jumlah penduduk terus bertambah.

“Semakin terbatasnya lahan pertanian sekitar 50.000 hingga 100.000 hektar lahan yang hilang setiap tahunnya di Indonesia,” ujar Sultan sebagaimana dalam pidato sambutan yang dibacakan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY Arofa Noor Indriani pada Seminar Nasional Penerapan Bioteknologi Pertanian dan Kontribusi bagi Ketahanan Pangan di Indonesia yang berlangsung di UGM, Selasa (23/5/2017).

Advertisement

“Semakin terbatasnya lahan pertanian sekitar 50.000 hingga 100.000 hektar lahan yang hilang setiap tahunnya di Indonesia,” ujar Sultan sebagaimana dalam pidato sambutan yang dibacakan Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY Arofa Noor Indriani pada Seminar Nasional Penerapan Bioteknologi Pertanian dan Kontribusi bagi Ketahanan Pangan di Indonesia yang berlangsung di UGM, Selasa (23/5/2017).

Dalam sambutan teresebut Sultan menegaskan, untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi lebih 237 juta jiwa penduduk setidaknya dibutuhkan sekitar 13 juta lahan padi produktif.

“Namun lahan padi yanga ada saat ini hanya 7,7 juta hektar, jika dihitung pertambahan penduduk sekitar 1,9 persen tiap tahun tentu akan menghadirlan permasalahan sosial soal pangan,” katanya.

Advertisement

“Sampai saat ini benih unggul sebagai solusi untuk mendapatkan varietas baru lewat hibridisasi berbagai keragaman genetik mengatasi berbagai permasalahan tanaman pangan,” jelas dia.

Benih unggul yang dikembangkan tersebut menurutnya tidak lepas dari peran bioteknologi lewat teknologi persilangan. Sampai saat ini pemanfaatan bioteknologi untuk kultivar unggul padi sangat diperlukan untuk pemenuhan pangan masyrakat perlu mendapat perhatian serius, meski teknologi tetap mendapat penolakan dari sebagian kelompok masyarakat. Namun demikian, diperlukan sikap kehati-hatian untuk menghasilkan produk produk pangan dari hasil teknologi rekayasa genetik tersebut.

Dikatakan Sri Sultan, salah satu produk bioteknologi di tanah air saat ini adalah pengembangan tanaman jagung transgenik yang dinilai berkualitas, tahan serangan hama sehingga mampu mengurangi penggunaan pestisida.

Advertisement

“Dari aspek bioteknologi justru mendatangkan manfaat bagi manusia,” katanya.

Sementara Direktur Indonesian Biotechnology Information Centre (IndoBIC) Bambang Purwantara mengatakan sudah saatnya pemerintah perlu memperhatikan persoalan pengembngan bioteknologi di bidang pangan seiring kebijkan pemrintah yang mengurangi ketergantungan pada impor pangan.

“Impor kita lihat sudah mulai berkurang, seharunsya  pengembngan penerapan bioteknologi pangan,” ujarnya.

Advertisement

Menurutnya pengembngan bioteknologi pangan saat Inondesia sat ini jauh tertinggal dibandong dengan Filipina dan Vietnam. Padahal sebelumnya Indonesia sebelumnya telah lebih dulu memulainya lewat pengembangan bioteknologi kapas transgenik.

“Kita dulu pernah melakukan bioteknologi kapas biji, sudah dimulai dari diawal, mandeg, produk sekarang dikembangankan tebu lahan kering, kita harapkan bisa ditanami di bagian Indonesia timur yang lahan kering mengatasi impor gula,” imbuh dia.

Salah satu persoalan yang dihadapi dalam pengembngan bioteknologi pangan menurut Bambang adalah lamanya prises pengusuulan hingga persetujuan sehingga produk hasil bioteknologi tersebut lambat dan lama untuk diaplikasikan di masyarakat.

“Bahkan bioteknologi kadang sering disalahmengertikan sebagian pihak. Bayangkan untuk produk tebu ini sudah lima tahunan prosesnya, sementara jagung sudah gampir sepuluh tahun dari mulai pengusulan sampai disetujui, karena penuh kehati hatian,” pungkasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif