News
Jumat, 19 Mei 2017 - 17:30 WIB

Laporan Keuangan Pemerintah Jokowi 2016 Dapat Opini WTP

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pimpinan DPR menerima Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2016 dari Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara (keempat kiri) saat sidang Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (19/5/2017). (JIBI/Solopos/Antara/M Agung Rajasa)

BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016.

Solopos.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk kali pertama sejak 2004 memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP).

Advertisement

Ketua BPK, Moermahadi Soerja Djanegara, mengatakan opini tersebut diberikan karena sejumlah temuan yang ditemukan lembaga auditor negara pada tahun lalu hampir semuanya diselesaikan pemerintah.

“Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah kami lakukan, LKPP tahun 2016 telah menyajikan secara wajar untuk seluruh aspek yang material sesuai dengan standar akuntansi pemerintah,” kata Moermahadi di DPR, Jumat (19/5/2017).

Kendati memperoleh WTP namun, pemerintah masih perlu menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi BPK atas temuan semua sistem pengendalian intern dan kepatuhan. “Tindak lanjut tersebut penting bagi pemerintah sehingga penyajian pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tahun depan akan baik,” jelasnya.

Advertisement

Adapun tahun lalu, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) kepada LKPP 2015. Waktu itu, lembaga auditor negara tersebut menemukan ketidaksesuaian standar akuntansi pemerintahan, kelemahan sistem pengendalian internal, dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang.

Salah satu masalah yang mencuat dalam LKPP 2015 itu yakni saat pemerintah pusat menyajikan Investasi Permanen Penyertaan Modal Negara (PMN) per 31 Desember 2015 sebesar Rp1,8 triliun.

PLN mengubah kebijakan akuntansinya dari yang sebelumnya pada 2012-2014 menerapkan ISAK 8 menjadi tidak lagi menerapkan sistem itu. Padahal OJK mewajibkan PLN menerapkannya sebagai standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.

Advertisement

Temuan berikutnya adalah pemerintah menetapkan harga jual eceran minyak solar bersubsidi lebih tinggi dari harga dasar, termasuk pajak dikurangi subsidi tetap. Hal itu membebani konsumen dan menambah keuntungan badan usaha melebihi dari yang seharusnya, yaitu Rp3,19 triliun. Pemerintah belum menetapkan status dana itu.

Adapun temuan ketiga menyangkut piutang bukan pajak sebesar Rp1,82 triliun dari uang pengganti perkara tindak pidana korupsi pada Kejaksaan dan sebesar Rp33,94 miliar dan 206,87 dolar AS dari iuran tetap, royalti, dan penjualan hasil tambang (PHT) pada Kementerian ESDM. Piutang itu tidak didukung dokumen sumber yang memadai serta sebesar Rp101,34 miliar tidak sesuai hasil konfirmasi kepada wajib bayar.

Selanjutnya temuan keempat adalah persediaan di Kementerian Pertahanan sebesar Rp2,49 triliun. Persediaan itu belum sepenuhnya didukung oleh penatausahaan, pencatatan, konsolidasi, dan rekonsiliasi barang milik negara yang memadai serta persediaan untuk diserahkan ke masyarakat pada Kementerian Pertanian sebesar Rp2,33 triliun belum dapat dijelaskan status penyerahannya.

BPK juga menemukan masalah pencatatan dan penyajian catatan dan fisik saldo anggaran lebih yang tidak akurat. Karena itu, kewajaran transaksi dan saldo terkait hal itu sebesar Rp6,60 triliun tidak dapat diyakini.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif