Jogja
Kamis, 4 Mei 2017 - 14:20 WIB

KISAH INSPIRATIF : Melihat Keseharian Noura, Atlet Sepatu Roda Asal Jogja Peraih 17 Medali

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Noura Callula Prasetyo, siswa SD Muhammadiyah Miliran, atlet sepatu roda. (Sunartono/JIBI/Harian Jogja)

Kisah inspiratif datang dari siswa yang tercatat sejak Desember 2015 hingga April 2017, telah membukukan 17 medali

 
Harianjogja.com, JOGJA– Olahraga sepatu roda kini banyak digemari anak-anak.

Advertisement

Mengenakan seragam atasan cokelat dan bawah biru, Noura Callula Prasetyo keluar gerbang SD Muhammadiyah Miliran, Umbulharjo, Kota Jogja, Kamis (13/4/2017) lalu pukul 14.00 WIB.

Siswi kelahiran 26 September 2008 ini melangkahkan kaki menyusuri gang menuju rumah berjarak sekitar 100 meter dari sekolah. Di rumah, sang nenek, Susilawati tampak membesut mobil keluar dari garasi.

Advertisement

Siswi kelahiran 26 September 2008 ini melangkahkan kaki menyusuri gang menuju rumah berjarak sekitar 100 meter dari sekolah. Di rumah, sang nenek, Susilawati tampak membesut mobil keluar dari garasi.

Jelang sore, Lula harus kembali meninggalkan rumah untuk berlatih di sirkuit sepatu roda Bantul bersama sang nenek. Lula pun beristirahat sejenak merebahkan badan di kursi ruang tamu.

“Latihannya, sepekan empat kali,” ungkap Susilawati saat berbincang dengan Harianjogja.com, Kamis (13/4/2017).

Advertisement

Sejumlah event bergengsi yang ditaklukkan, ia pernah membawa emas di Solo Open 2016 pada nomor 500 meter. Namun belum beruntung di nomor tujuh kilometer, hanya juara harapan karena kondisi tidak fit. Ia tak kuasa menahan mual dan ketika itu muntah selama perlombaan.  “Kalau mual dan pengen muntah, saya biasanya menepi aja,” kata Lula.

Di tahun yang sama, putri pasangan Safitri dan Budi Prasetyo ini kembali mendapatkan emas dalam ajang Piala Ibu Negara. Emas kembali ia boyong saat mewakili SD Muhammadiyah Miliran di 2017 dalam Kejurda di nomor 1000 meter dan 300 meter ITT.

Pada Jumat (14/4/2017) pagi, Lula kembali harus mengaspal di Lapangan GOR Among Rogo. Dalam latihan itu Lula menjalani beberapa latihan fisik dan dan bermain di perlintasan selama lebih dari dua jam. Pagi itu ia beradu cepat dengan sejumlah atlet lain yang rata-rata usia di atasnya.

Advertisement

Di balik kesuksesan Lula, sang nenek adalah manajernya selama 24 jam. Wanita berjilbab ini menyadari ketatnya persaingan di perlintasan. Lula ditempa dengan kedisiplinan, berbalut rasa sayang dan keceriaan.

Di pagi buta, setelah salat subuh, Lula mulai dipantau untuk pelatihan fisik. Sebuah sepeda gunung merek terkenal tersedia di ruang tamu, tiap pagi dikayuh di tempat dilanjutkan dengan gerakan fisik ringan.

Untuk menjamin kualitas gizi, Susilawati memilih memasak sendiri untuk Lula ketimbang membeli. Sebelum berangkat sekolah, ia harus memastikan Lula telah makan berat, minum susu, sari kacang hijau dan madu. Jelang perlombaan, menu pagi itu ditambah dengan telur setengah matang.

Advertisement

Di dalam tas sekolah pun selalu terisi bekal makanan. “Soalnya dia kadang susah makan, setiap hari kalau makan itu cuma di biarkan di mulut nggak dikunyah-kunyah,” ujar sang nenek sembari tersenyum.

Dukungan dari kedua orangtua pun besar, setidaknya harus menyiapkan akomodasi mandiri dalam setiap kompetisi di luar kota. Selain itu, perlengkapan sepatu roda pun harus mengeluarkan rupiah yang tidak sedikit. Hanya untuk satu set bearing saja, harus mengeluarkan Rp3,5 juta.

Termasuk kebutuhan roda yang harus berganti sesuai dengan kelas, saat ini Lula menggunakan roda dengan diameter 90 milimeter. Seluruh onderdil harus diganti baru jika akan bertanding demi membuahkan hasil yang memuaskan.

Meski demikian, keluarga tidak pernah membebaninya harus selalu menang di perlintasan. Sejak kecil Lula sudah mulai keranjingan dengan sepatu roda. Kisah itu terjadi karena seringnya keluarga ini mengajak jalan-jalan siswi kelas 3 SD Muhammadiyah Miliran ini di sekitar Stadion Mandala Krida yang kerap dipakai latihan sepatu roda.

Sejak usia balita, Lula sudah minta dibelikan sepatu roda, namun secara resmi bergabung di klub baru di usia TK. “Tetapi sepatu roda nomor dua, yang nomor satu tetap sekolah,” kata Susilowati.

Di SD Muhammadiyah Miliran, prestasi Lula tak pernah tertinggal. Sejak kelas 1 hingga kelas 3 tetap berada di peringkat tiga besar. Pihak sekolah juga sepenuhnya mendukung kegiatan Lula menjadi atlet sepatu roda dengan memberikan dispensasi pada jam tertentu agar tetap bisa mengikuti latihan.

“Kami memberi keleluasan kepada Lula untuk berlatih, kalau ada ekskul wajib diperbolehkan tidak ikut karena latihan sepatu roda,” ungkap Kepala SD Muhammadiyah Miliran Kota Jogja Ani Sulistyaningsih.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif