Jogja
Jumat, 21 April 2017 - 12:55 WIB

Kisah Para Keturunan Jawa di Negeri Seberang, Selamatan dengan Ingkung hingga Percaya Dukun

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Thierry Timan, Ketua Persatuan Masyarakat Indonesia dan Keturunannya di Kaledonia Baru, di sela kegiatan Javanese Diaspora Event III. (Sawitra Mustika/JIBI/Harian Jogja)

Keturunan Jawa di berbagai negara tetap berusaha mempertahankan cara hidup Jawa.

Harianjogja.com, JOGJA– Orang-orang ini adalah orang yang lahir dan besar di negeri-negeri seberang. Mereka adalah keturunan Jawa yang tetap berusaha mempertahankan cara hidup Jawa.

Advertisement

Suatu hari di tahun 1970-an, sebuah kota di Suriname menggelar acara wayang. Harriette Mingoen, yang ketika itu beranjak remaja datang menonton. Sebagai seorang wanita keturunan Jawa, ia suka apapun yang berbau jawa, termasuk juga wayang.

Hari itu ia tak rugi datang menonton, karena sepanjang pertunjukkan sang dalang sukses membuat dirinya terkagum-kagum. Gerakan tangan yang cekatan, lincah, dan pasti dari sang dalang mengadirkan pesona tersendiri di dalam batin Harrietee. Belum lagi nasehat-nasehat bijak yang keluar dari mulut Semar, membuat malam terasa sangat istimewa baginya.

Tapi Harriette bukan satu-satunya orang yang dibuat bahagia malam itu. Orang-orang Hindustan dan Kulit hitam yang hadir menonton juga merasa terhibur menyaksikkan adegan saat Arjuna melepaskan pasupati ke mulut raksasa Niwatakawaca.

Advertisement

Mereka bisa menikmati pertunjukan karena wayang di Suriname sengaja tak hanya disajikan dalam bahasa Jawa, tapi juga dicampur-campur dengan Bahasa Belanda dan Suriname.

Bersambung halaman 2

Mereka bisa menikmati pertunjukan karena wayang di Suriname sengaja tak hanya disajikan dalam bahasa Jawa, tapi juga dicampur-campur dengan Bahasa Belanda dan Suriname.

Harriette Mingoen yang merupakan salah satu peserta Javanese Diaspora Event III, menceritakan bahwa beberapa budaya Jawa yang dijalankan oleh para imigran di Suriname memang mengalami sedikit penyesuaian. “Kami adalah bagian dari masyarakat yang beragam. Harapannya supaya orang lain bisa menikmati kebudayaan Jawa,” katanya pada Rabu (19/4/2017).

Advertisement

Bagi orang-orang keturunan Jawa yang hidup di Suriname, beberapa modifikasi dalam budaya Jawa merupakan keniscayaan yang tak bisa ditolak karena mereka hidup berdampingan dengan etnis-etnis yang berbeda. Karena itu, ketika wayang disana tak lagi sepenuhnya menggunakan bahasa Jawa atau gamelan yang dimainkan tak semerdu seperti di Jawa, mereka tak masalah.

Yang penting bagi mereka adalah budaya Jawa, yang termanifestasi dalam banyak hal, tetap jaya dan lestari di tanah rantau. Bagi mereka, yang penting adalah menyerap sebanyak-banyaknya makna yang terkandung dalam kesenian dan falsafah Jawa. Untuk kemudian dijadikan penuntun dalam menjalani hidup yang absurd ini.

Karena itulah para orang tua disana, menurut Harriette, selalu berusaha mempertahankan kebudayaan dan tradisi Jawa. Bahkan ia mengatakan, ketika keadaan semakin sulit, orang-orang keturunan Jawa di Suriname pernah membuat gamelan dengan memanfaatkan besi bekas barel minyak. Kesenian seperti ludruk, ande-ande lumut, wayang kulit, wayang wong, tarian, dan gamelan juga kerap kali dipentaskan.

Semua dilakukan agar generasi berikutnya bisa mengenal budaya tanah leluhurnya, “Mungkin karena dulu belum ada Youtube, Facebook. Orang-orang juga belum bisa beli tiket ke Indonesia, jadi mereka melakukan sendiri supaya keturunannya mengerti budaya Jawa,” jelas Harriette dalam Bahasa Indonesia.

Advertisement

Bersambung halaman 3


Meski budaya dan tradisi Jawa di Suriname tetap kental berkat usaha-usaha dari para pendahulu, tapi Harriette merasa kurang mendapatkan penjelasan yang mutakhir mengenai budaya dan tradisi Jawa.

Meski budaya dan tradisi Jawa di Suriname tetap kental berkat usaha-usaha dari para pendahulu, tapi Harriette merasa kurang mendapatkan penjelasan yang mutakhir mengenai budaya dan tradisi Jawa.

Penyebabnya, ia menduga, karena orang tua zaman dahulu tak punya waktu menjelaskan karena sibuk bekerja atau mungkin karena budak-budak yang dikirim ke Suriname adalah orang-orang dari kalangan rakyat jelata yang tidak cukup terdidik untuk bicara mengenai kebudayaan.

Advertisement

Pada tahun 1973, Harriette pindah ke Belanda untuk melanjutkan studi di Universitas Leiden dengan mengambil jurusan sosiologi pembangunan. Di periode 1970 sampai 1975 sendiri memang terjadi migrasi besar-besaran dari penduduk keturunan Jawa di Suriname menuju Belanda. Mereka bermigrasi karena lebih memilih menjadi warga negara Belanda ketimbang Suriname yang merdeka di tahun 1975.

Setelah lulus kemudian Harriete dikirim oleh pemerintah Belanda untuk bekerja di Organisasi Buruh Internasional. Pekerjaan ini kemudian membuat Harriette berkesempatan tinggal di Jakarta selama tiga tahun, dari 1983 sampai 1986. Karena itulah ia fasih berbahasa Indonesia.

Harriette Mingoen adalah Ketua Stichting Comite Herdenking Javanese Immigratie Nederland. Ia dikenal sebagai keturunan Jawa yang berjuang dalam memajukan kehidupan budaya masyarakat Jawa-Suriname di Den Haag, Belanda.

Bersambung halaman 4

Ia juga turut memberi sumbangan pada khasanah literature sejarah berkenaan dengan hubungan sejarah Indonesia-Suriname-Belanda melalui buku berjudul Migrasi dan Warisan Budaya.

Ia juga turut memberi sumbangan pada khasanah literature sejarah berkenaan dengan hubungan sejarah Indonesia-Suriname-Belanda melalui buku berjudul Migrasi dan Warisan Budaya.

Advertisement

Sampai saat ini tercatat ada sekitar 25.000 sampai 30.000 orang keturunan Jawa yang tinggal di Belanda. Mereka hidup tersebar di beberapa wilayah seperti Amsterdam, Den Haag, Groningen, dan lain sebagainya.

Untuk tetap terhubung dengan tanah leluhur, mereka kemudian membuat perkumpulan di masing-masing daerah di antaranya adalah Organisasi Bangsa Jawa-Suriname Ing Amsterdam, Rukun Budie Utomo, dan Persatuan Bangsa Jawa Suriname.

Harriette mengatakan orang-orang keturunan Jawa di Belanda hidup dengan cara yang guyub. Nyaris setiap hari mereka bertemu dan mengobrolkan banyak hal dalam bahasa Jawa ngoko. Kegiatan seperti pesta lebaran, pesta dansa [yang ingin karena pengaruh budaya Suriname], kerja bakti, mengadakan wayang, tari, dan gamelan sangat sering diadakan.

Bahkan, saat seseorang mendapatkan sebuah kebahagian, niscaya selametan akan digelar. Hidangan seperti sego gurih, gudangan, ingkung ayam, sambel goreng tempe, dan sambel goreng rempelo hati pun dihidangkan untuk hadirin yang datang.

Dan yang paling menarik, tentunya berdasarkan cerita Harriette, orang-orang keturunan Jawa di Belanda masih percaya dengan dukun. Saat mereka ingin memberi anak nama; saat mereka akan menggunting rambut anak untuk pertama kali; saat akan menggelar ritual mitoni, mereka akan dengan senang hati pergi ke dukun untuk berkonsultasi.

Bersambung halaman 6

Tapi Harriette juga mengakui, banyak budaya Jawa yang tidak bisa dipertahankan lagi. Kesenian seperti ludruk, wayang wong, dan ande-ande lumut nyaris sudah bisa dikatakan sirna karena tidak adanya regenerasi.

Tapi Harriette juga mengakui, banyak budaya Jawa yang tidak bisa dipertahankan lagi. Kesenian seperti ludruk, wayang wong, dan ande-ande lumut nyaris sudah bisa dikatakan sirna karena tidak adanya regenerasi.

Hal yang sama juga diakui Miswa Talas, seorang warga negara Belanda keturunan Jawa. Bahkan menurutnya, generasi setelah dirinya, nyaris sudah tidak bisa berbahasa Jawa. “Saya ajari [bahasa Jawa], tapi mereka tidak bisa. Orang setiap hari bergaulnya dengan bule, gimana caranya bisa,” katanya dalam bahasa Jawa ngoko yang lancar.

Miswa sama sekali tak bisa Bahasa Indonesia. Ia mengaku bersyukur bisa datang ke Javanese Diaspora Event III karena banyaknya ilmu yang bisa ia petik. Kebetulan sebelum sesi wawancara dilakukan, ada pemaparan filosofi Jawa oleh T.O Suprapto dari desa wisata Joglo Tani, Sleman.

Setelah mengikuti pemaparan yang canggih dari Suprapto, Miswa merasa sedikit tercerahkan dan bertekad mmembagikan ilmu yang ia dapat di tanah leluhur kepada teman-temannya di Belanda.

Sementara itu, Sherly Timan, seorang warga Kaledonia Baru juga punya cerita bagaimana ia berusaha melestarikan budaya Jawa di tanah rantau. Ketika Sherly melahirkan seorang anak 16 tahun yang lalu. Ia bersikukuh harus menyelenggarkan upacara mitoni dan tedak siten. “Harus dilakukan upacara adat agar mereka merasa diwongke sejak lahir,” katanya.

Ketika itu ia menunjukkan foto-foto ketika prosesi tersebut berlangsung. Tampak seorang bayi yang lucu dengan berpakaian Jawa sedang duduk manis didalam kurungan ayam. Ada juga foto dimana seorang nenek yang memapah bayi untuk menaiki semacam tangga yang terbuat dari tebu.

Shelry juga menceritakan, orang-orang keturunan Jawa di Kaledonia Baru juga kerap bertemu satu sama lain. Mereka belajar menari dan memasak bersama. Kadang-kadang juga ada obrolan serius seperti makna batik atau keris. Semua dilakukan orang-orang disana supaya “Ojo lali mulo bukone,” tutupnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif