Tiga hakim PN Gresik dilaporkan ke KY setelah memutuskan melegalkan kembali izin Gubernur Jateng terhadap pabrik semen Kendeng.
Solopos.com, JAKARTA — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Gresik ke Komisi Yudisial (KY). Mereka dinilai menyidangkan perkara yang sama dengan pengadilan tata usaha negara (TUN), yaitu soal SK Gubernur Jawa Tengah tentang izin pabrik semen di Kendeng, Rembang.
“Harusnya [pembatalan SK Gubernur Jawa Tengah] masuk ranah tata usaha negara (TUN). Dan proses litigasi itu sudah kami hadapi mulai dari TUN hingga MA [dan dimenangkan],” kata Ronald M Siahaan, Manajer Hukum Lingkungan dan Litigasi Walhi di Jakarta, Kamis (20/4/2017).
Kasus ini bermula saat dua warga bernama Pramono Setyo Mustiko dan Agus Sugiharto menggugat pembatalan SK Gubernur Jawa Tengah tentang izin pabrik semen Kendeng. Mereka meminta majelis hakim menyatakan izin itu sah dan legal, padahal sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Yang mengejutkan, majelis hakim PN Gresik yang terdiri atas Syaifudin Zuhri, Putu Mahendra, dan Aria Dedy, mengabulkan permohonan tersebut pada 27 Februari 2017. Putusan ini menjadi dasar PT Semen Indonesia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas PK MA No.99 PK/TUN/2016.
Ronald mengatakan hasil pelaporan di KY tidak akan menjadi pertimbangan dalam materi putusan PK atas PK yang ajukan PT Semen Indonesia di MA. Namun, pelaporan ini diharapkan untuk menegakan marwah lembaga kehakiman. “PN Gresik memunculkan keputusan pada Februari lalu, lalu keputusan itu digunakan sebagai novum PK atas PK,” katanya.
Dia mengatakan selain kejanggalan objek kewenangan ini, pihaknya juga kebingungan dengan prosesnya yang sangat cepat. Setelah perkara dimasukan pada 17 Januari 2017 ke PN Gresik, muncul keputusan pada 27 Februari.
“Kami meminta KY memeriksa hakim di PN Gresik. Masyarakat juga kesulitan mengakses keputusan itu padahal digunakan sebagai Novum [PK atas PK di MA],” katanya.
Juru Bicara KY Farid Wajdi mengatakan pihaknya tidak akan masuk pada materi perkara maupun pelanggaran administrasi. Pihaknya akan berfokus ada atau tidaknya pelanggaran etika yang dilakukan oleh hakim baik secara administrasi maupun penanganan perkara di persidangan.
“Kalau menyangkut putusan tentu bukan ranah KY. Kami menghindari menilai isi putusan dan pertimbangan putusan,” katanya.
Pelaporan ini terkait administrasi dan etik. Kami tidak dalam posisi ada atau tidaknya pelanggaran. Farid mengatakan pihaknya akan menilai perkara ini paling lambat dalam 60 hari. “Kami akan beri pelayanan terbaik pada pencari keadilan,” katanya.