Jogja
Selasa, 11 April 2017 - 18:20 WIB

TRADISI JOGJA : Nguras Sendang Seliran, Mencari Wibawa Panembahan Senopati

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ritual dalam Nguras Sendang Seliran di kompleks Masjid Agung Mataram Kotagede di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan Bantul, Minggu (9/4/2017). (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Tradisi Jogja di Sendang Seliran dilakukan berupa menguras sendang

 

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL- Selama ini, kompleks Masjid Agung Mataram Kotagede di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan kerap hanya dikenal karena masjid dan makamnya saja. Tak banyak yang tahu sejarah bangunan lain yang ada di kompleksnya. Salah satunya adalah Sendang Seliran. Melalui ritual Nawu Sendang Seliran, masyarakat seperti hendak kembali dibawa ke era kejayaan Kerajaan Mataram Islam.

Selain lokasinya yang berhimpitan dengan kompleks makam Panembahan Senopati, nyaris tak ada yang istimewa dengan bangunan kolam berbentuk T bertutup cungkup sederhana itu. Sendang Kakung, begitu bunyi tulisan di sebuah pelat hitam yang sengaja diletakkan di atas dinding tembok setingga orang dewasa.

Advertisement

Selain lokasinya yang berhimpitan dengan kompleks makam Panembahan Senopati, nyaris tak ada yang istimewa dengan bangunan kolam berbentuk T bertutup cungkup sederhana itu. Sendang Kakung, begitu bunyi tulisan di sebuah pelat hitam yang sengaja diletakkan di atas dinding tembok setingga orang dewasa.

Minggu (9/4/2017) siang itu, Raden Tumenggung (RT) Pudjodipuro nampak sibuk. Keringatnya mulai membasahi wajahnya yang gemuk. Surjan yang ia kenakan, nampak basah.

Tak seperti beberapa hari terakhir yang nyaris selalu mendung, matahari memang begitu terik ketika itu. Belum lagi, perannya sebagai Ketua Panitia ritual Nawu Sendang Seliran yang digelar hari itu, membuatnya harus bergerak kesana kemari mempersiapkan segala sesuatunya.

Advertisement

“Tak ada lain. Memang hanya untuk membersihkan sendang,” kata pria bernama asli Slamet Purjono itu.

Dilihat dari konstruksinya, sendang itu nyaris seperti sendang pada umumnya. Dinding batu yang tinggi dan sedikit berlumut, ditambah aroma dupa yang sesekali terendus akibat terpaan angin lah yang membuat sendang itu sedikit terasa kesakralannya.

Memang, sendang itu sendiri sudah berumur nyaris sama tuanya dengan Masjid Agung Mataram yang terletak beberapa meter di sisi utaranya. Laiknya sebuah kolam pemandian, sendang yang dibangun pada masa pemerintahan raja pertama Kesultanan Mataram, Sutawijaya itu pun memiliki fungsi yang sama.

Advertisement

Hanya saja, lantaran dibangun di kompleks pesanggrahan raja, sendang itu pun hanya dikhususkan untuk kalangan keluarga inti istana saja. Menjadi salah satu tempat favorit raja Sutawijaya, sendang itu pun diberikan nama Sendang Seliran.

Tak ada informasi pasti mengenai hal ini. Beberapa informasi mengatakan nama Seliran itu berasal dari kata dislirani (dikerjakan) lantaran sendang itu memang dikerjakan secara khusus oleh Sutawijaya dan ayahnya Ki Ageng Pemanahan. Ada pula informasi yang menjelaskan nama Seliran itu berasal dari slira, yang berarti bersumber dari diri Raja Sutawijaya sendiri.

Sejarah mengenai sendang ini barulah terekam pada 1601 masehi, tahun dimana Raja Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati wafat. Dari prasasti yang tertulis di sekitar sendang, pada tahun inilah dibangun satu lagi sendang yang bernama Sendang Putri.

Advertisement

Dengan dibangunnya Sendang Putri, praktis Sendang Seliran memiliki dua sendang, yakni Sendang Putri sendiri dan Sendang Kakung. Sesuai namanya, kedua sendang ini sengaja dibangun untuk memisahkan kalangan keluarga istana berdasarkan jenis kelaminnya.

Di luar kompleks sendang, dua buah siwur dan tiga buah gayung sudah siap di atas meja yang diletakkan tepat di depan gerbang Masjid Agung Mataram. Tak lama, arak-arakan ratusan bergodo mengiringi masuknya dua jodang yang dipanggul oleh sejumlah orang.

Diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, dua buah siwur itu lantas diserahkan kepada perwakilan dua abdi dalem, yang masing-masing merupakan abdi dalem Ngayogyakarta dan Surakarta. Oleh keduanya, lantas siwur itu berikut gayungnya dimasukkan ke dalam jodang.

Arak-arakan kembali bergerak menuju sendang.

Di kompleks sendang, dua kelompok abdi dalem itu bergerak bersamaan menuju dua sendang. Di sana, secara simbolis mereka mengambil air sendang dengan menggunakan gayung.

Kedua siwur pun terisi air sendang. Prosesi lantas dilanjutkan oleh para petugas yang menguras air sendang dengan menggunakan ember.

Karena itulah, ritual yang digelar sekali dalam setahun itu diberikan nama Nawu Sendang Seliran (Menguras Sendang Seliran). Bukan tanpa alasan, sendang itu memang harus dikuras setiap tahunnya.

Uniknya, ritual itu mulai digelar setelah terjadi profanisasi pada sendang itu sendiri. Ketika banyak pengunjung yang berdatangan untuk memberi makan ikan lele putih penghuni sendang yang dianggap keramat, membuat sendang pun tampak kotor. “Karena itulah, perlu dikuras,” kata Pudjodipuro menutup ceritanya.

Meski mengalami profanisasi, pesona sendang itu tak pelak masih memikat para pemburu laku spiritual hingga kini. Setidaknya itu adalah bukti betapa wibawa Panembahan Senopati sebagai pemilik sendang masih sangat besar. “Inilah yang membuat kami berkomitmen menggelar kirab budaya ini secara rutin,” tegas Kepala Desa Jagalan, Gono Santoso.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif