Jateng
Senin, 3 April 2017 - 08:50 WIB

INDUSTRI SEMARANG : Petani Mangunharjo Olah Mangrove Jadi Batik Kelas Dunia

Redaksi Solopos.com  /  Imam Yuda Saputra  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Haryati, salah satu perajin batik mangrove di Mangkang Wetan, Mangunharjo, Semarang, tengah membatik di rumahnya, Sabtu (1/4/2017). (JIBI/Semarangpos.com/Imam Yuda Saputra)

Batik di Semarang, salah satunya dibuat dari limbah tanaman bakau atau mangrove oleh para petani di Mangunharjo.

Semarangpos.com, SEMARANG – Kota Semarang bukan kota penghasil batik nomor satu di Tanah Air, seperti halnya Pekalongan, Solo, maupun Jogja. Meski demikian, bukan berarti para pengrajin batik di ibu kota Jawa Tengah (Jateng) itu miskin inovasi.

Advertisement

Terbukti, Semarang memiliki ciri khas tersendiri pada produk batiknya, berupa corak tanaman bakau atau mangrove. Bahkan, batik itu juga dibuat dari limbah mangrove yang banyak terdapat di pinggir pantai.

Produk batik dari mangrove itu salah satunya dibuat ibu-ibu petani mangrove yang tergabung dalam kelompok Batik Alam Wijaya Kusuma di RT o05/RW 006 Mangkang Wetan, Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Semarang.

Advertisement

Produk batik dari mangrove itu salah satunya dibuat ibu-ibu petani mangrove yang tergabung dalam kelompok Batik Alam Wijaya Kusuma di RT o05/RW 006 Mangkang Wetan, Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Semarang.

Salah satu pengrajin batik mangrove, Haryati, menyebutkan batik buatannya memang terbilang unik dan beda dibanding batik lain. Perbedaannya terletak pada bahan pewarna batik tersebut.

“Kalau batik lainnya, biasanya bahan pewarnanya sintetis. Tapi kalau punya kami bahan pewarna utama dari pohon mangrove,” ujar Haryati saat dijumpai wartawan di rumahnya yang terletak di Mangkang Wetan, Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Semarang, Sabtu (1/4/2017) siang.

Advertisement

“Saya enggak punya modal untuk beli pewarna sintetis. Makanya saya senang mengetahui kalau mangrove bisa dijadikan pewarna batik. Hasilnya juga sangat bagus, warnanya kalem dan kainnya tidak mudah menyerap keringat,” beber Haryati.

Kini bersama ibu-ibu di kampungnya yang tergabung di kelompok Batik Alam Wijaya Kusuma, Haryati kian serius menekuni usaha pembuatan batik mangrove itu. Sudah tiga tahun usaha itu dijalani, pesanan pun semakin banyak baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

“Batik bergambar hutan mangrove paling dicari pembeli. Harganya mulai Rp100.000-Rp300.000. Bisa dibilang cukup mahal, tapi memang sebanding karena membuatnya terbilang rumit dan butuh waktu sekitar satu bulan,” terang Haryati.

Advertisement

Haryati menyebutkan tiap bulan pesanan tak pernah sepi. Pelanggannya berasal dari pegawai negeri asal Bangka Belitung, Jakarta dan kota besar lainnya bahkan hingga negara Eropa.

“Orang Italia dan Belanda baru kemarin membeli batik mangrove. Mereka senang dengan bahan yang ramah lingkungan,” terang Haryati.

Ketua Paguyuban Mangrove Lestari Sururi menyebutkan tanaman mangrove yang kerap dimanfaatkan untuk pewarnaa batik terhampar dilahan seluas ribuan hektare. Selain untuk bahan pewarna batik, serat dan daun mangrove juga diolah warga menjadi camilan, minuman hingga tas anyaman.

Advertisement

“Ibu-ibu di kampung ini yang sering mengolahnya jadi ragam produk untuk dijual ke luar kota,” terang Sururi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif