News
Kamis, 30 Maret 2017 - 01:22 WIB

EKSPEDISI ANTARTIKA : Bumbu Soto & Sambal Trasi Instan Jadi Andalan

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Peneliti Geologi UGM Nugroho Imam Setyawan berfoto di Tenmondai Rock, Antartika saat mengeksplorasi pegunungan itu, 9 Januari 2017 lalu. Tampak background glasier Antartika dan singkapan batuan di latar belakang. (Istimewa-JARE/Ippei Kitano)

Ekspedisi Antartika, Indonesia memiliki wakil masuk dalam tim tersebut.

Harianjogja.com, SLEMAN — Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Nugroho Imam Setiawan, telah menuntaskan misi mengeksplorasi Antartika yang telah berlangsung selama empat bulan. Dia punya segudang cerita yang jarang ditemui di belahan Bumi lainnya.

Advertisement

Baca Juga : EKSPEDISI ANTARTIKA : Di Ujung Dunia, Buang Hajat Punya Adab Sendiri (1/4)

Nugroho Imam Setiawan, akhirnya pulang dari pengembaraannya Antartika. Dia bergabung dalam tim peneliti yang dibentuk sekumpulan ilmuwan Jepang. Nugroho kebagian jatah mengobservasi cuaca harian di benua yang paling sepi dari keriuhan manusia.

Advertisement

Nugroho Imam Setiawan, akhirnya pulang dari pengembaraannya Antartika. Dia bergabung dalam tim peneliti yang dibentuk sekumpulan ilmuwan Jepang. Nugroho kebagian jatah mengobservasi cuaca harian di benua yang paling sepi dari keriuhan manusia.

Nugroho Imam Setiawan, Doktor muda Teknik Geologi UGM (berjaket biru di barisan terdepan) bersama tim ekspedisi Jepang mengikuti Winter Camp Training untuk menyiapkan ekspedisi Japan Antartics Research Expedition November 2016-Maret 2017 mendatang. (JIBI/Harian Jogja/Ist)

Iwan tinggal selama tiga hari di stasiun penelitian Stasiun Syowa di Pulau Ongul, Antartika bagian timur. Stasiun Syowa didirikan tim ekspedisi Jepang yang pertama atau Japan Antartic Research Expedition (JARE) I pada 1957. Syowa adalah penanda awal mula program penelitian musim dingin di Antartika.

Advertisement

Syowa menyediakan tiga mess untuk peneliti. Satu mess dipakai tim ekspedisi musim dingin, dua lainnya untuk musim panas. Masing-masing mess dilengkapi dapur, restoran, toilet, kamar mandi, dan ruang cuci.

Iwan datang ke Kutub Selatan saat musim panas. Pada periode ini, tak ada malam di sana. Selama 24 jam, Matahari selalu bersinar, begitu seterusnya selama beberapa saat. Kapan waktu untuk salat pun menjadi membingungkan.

“Tetapi patokan saya tetap waktu Indonesia. Kalau mengandalkan Matahari jelas tidak bisa karena sepanjang hari terlewatkan hampir tidak ada perubahan,” ucap kata alumnus SMAN 2 Jogja angkatan 2000 itu..

Advertisement

Untungnya, tubuh Iwan tidak terlalu rewel ketika jam tidur tiba. Meski malam tak pernah datang, matanya tetap bisa terlelap. Beda dengan yang dirasakan satu koleganya yang kerepotan lantaran jam biologisnya terganggu.

“Ada satu peneliti yang tidak bisa tidur karena tidak ada nuansa malam hari,” ucap dia. Kebetulan Iwan selama kuliah di Geologi UGM aktif ikut kegiatan mahasiswa pecinta alam. Ia bahkan sempat menjadi Ketua Mapala Teknik Geologi UGM, Magmagama.

Berada di kutub tidak serta-merta memisahkan Iwan dari makanan kesukaannya, yakni sambal terasi dan soto. Dosen Teknik Geologi UGM itu membawa bumbu soto dan sambel terasi instan.

Advertisement

“Di Kutub tinggal diseduh air panas saja,” ucap dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif