News
Rabu, 29 Maret 2017 - 14:58 WIB

Singgung Al Maidah 51, Ahok Dinilai Cuma Ingin Programnya Jalan Meski Kalah

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memasuki ruang persidangan kasus dugaan penistaan agama di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (21/3/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Muhammad Adimaja)

Ahli bahasa dari Unika Atma Jaya Jakarta menyebut Ahok hanya menginginkan programnya tetap berjalan meski kalah pilkada.

Solopos.com, JAKARTA — Ahli bahasa sekaligus guru besar linguistik Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Bambang Kaswanti Purwo, menyatakan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyebut Surat Al Maidah ayat 51 saat berpidato di Kepulauan Seribu berdasarkan pengalamannya.

Advertisement

“Hal itu disebabkan pengalaman beliau saat Pilkada Bangka Belitung 2007,” kata Bambang saat memberikan kesaksian dalam sidang ke-16 Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3/2017).

Menjelang penyelenggaraan Pilkada Bangka Belitung 2007, Ahok saat itu menjadi calon bupati terdapat selebaran-selebaran yang mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 untuk mengimbau memilih pemimpin muslim.

Advertisement

Menjelang penyelenggaraan Pilkada Bangka Belitung 2007, Ahok saat itu menjadi calon bupati terdapat selebaran-selebaran yang mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 untuk mengimbau memilih pemimpin muslim.

Menurut Bambang, dalam konteks pidato Ahok di Kepulauan Seribu, ia menyatakan ada kekhawatiran apabila Ahok tidak terpilih kembali manjadi gubernur, maka program dari Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini budidaya ikan akan berhenti. “Intinya adalah yang penting program tetap jalan kalau kemungkinan dia tidak terpilih lagi. Itu berdasarkan pengalamannya terkait Surat Al Maidah,” ucap Bambang.

Bambang juga menyatakan tidak ada unsur kampanye dalam pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu. “Dalam pidato itu inti yang diangkat adalah mempromosikan progam budi daya kelautan dan budi daya hasil benih, itu yang saya lihat dari inti pidatonya,” kata Bambang.

Advertisement

Ia pun menjelaskan terdapat 2.987 kata dalam pidato Ahok secara keseluruhan tersebut. Masing-masing kata “Al Maidah” dan “dibohongi” muncul sebanyak satu kali dan kata lainnya seperti “program” dan “ikan laut” paling banyak muncul.

Tim kuasa hukum Ahok dijadwalkan menghadirkan tujuh saksi ahli dalam lanjutan kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu. “Ada tujuh saksi ahli yang rencananya hadir. Dua saksi ahli yang sudah ada di BAP dan lima saksi ahli yang belum masuk di BAP,” kata Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara Hasoloan Sianturi saat dimintai konfirmasi di Jakarta, Rabu.

Dua saksi ahli yang sudah masuk di BAP, yakni ahli psikologi sosial yang juga Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial dan Laboratorium Psikologi Sosial Eropa Risa Permana Deli; dan ahli bahasa Bambang Kaswanti Purwo.

Advertisement

Sementara lima saksi ahli yang belum masuk di BAP, yaitu ahli agama Islam yang juga Wakil Ketua Mustasyar Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Hamka Haq, ahli agama Islam sekaligus Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Masdar Farid Mas’udi, dan ahli agama Islam yang juga dosen tafsir Alquran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Sahiron Syamsuddin.

Selanjutnya, ahli hukum pidana yang juga praktisi hukum serta pensiunan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Muhammad Hatta dan ahli hukum pidana sekaligus dosen hukum pidana Universitas Udayana I Gusti Ketut Ariawan.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara. Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Advertisement

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif