News
Selasa, 28 Maret 2017 - 07:00 WIB

KISAH INSPIRATIF : Iptu Ma'ruf Suroto Bukan Polisi Biasa

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Iptu Ma'ruf berfoto berlatar sarang semut (masamus). (Rini Y/JIBI/Solopos)

Kisah inspiratif dari Iptu Ma’ruf layak ditiru.

Solopos.com, MERAUKE — Perjalanan 60 km dari Kota Merauke menuju Distrik Sota ditempuh dalam waktu dua jam, Kamis (2/2/2017). Distrik Sota merupakan bagian kabupaten Merauke terujung berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini, warga biasa menyebut PNG.

Advertisement

Gapura perbatasan RI-PNG di Sota, Merauke. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Mengunjungi Sota tak lengkap rasanya jika belum bertemu Kapolsek Sota, Iptu Ma’ruf Suroto. Ma’ruf bukan polisi biasa.Karena pengabdiannya di daerah perbatasan serta membuat kawasan itu menjadi indah, Ma’ruf mendapat kenaikan pangkat luar biasa dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Hari itu, 29 Juni 2012, suasana hati Ma’ruf membuncah. Selepas tampil dalam tayangan talkshow Kick Andy, bertepatandengan Hari Bhayangkara, Ma’ruf mendapat penghargaan berupa kenaikan pangkat dari Aiptu menjadi Ipda.

Advertisement

“Jadi saya naik pangkat jadi perwira tanpa perlu mengikuti pendidikan dulu. Ini sangat berarti buat saya,” ujar pria kelahiranMagelang, 6 Juni 1967, kepada Solopos.com, Kamis.

Apa yang dilakukan Ma’ruf tak banyak dilakukan petugas keamanan lainnya. Suami TitiekHandayani asal Klaten ini taksekadar menjaga keamanan. Saat itu, tahun 1993 Ma’ruf ditugaskan di Sota.

Minim Fasilitas

Daerah perbatasan waktu itu masih minim fasilitas, listrik masih menggunakan genset. Jalanan masih tanah padat. Pun halnya sarana komunikasi telepon tak ada.

Advertisement

Tak mau berpangku tangan, Ma’ruf tak hanya menerima laporan keamanan dari warga. “Saat itu, sangat jarang sekali laporan pencurian, perampokan, tindakan kriminal nyaris tidak ada laporan. Saya berpikir masak mau begini saja,” tuturnya membuka kisah.

Sejak saat itu pula, Ma’ruf mulai bercocok tanam. Pekarangan di rumah dinasnya, yang berjarak sekitar 300 meter dari PolsekSota dia tanami aneka sayur, buah-buahan bahkan sepetak kolam lele dibuatnya. Pria berkulit sawo matang ini juga mengajarkan cara bertanam kepada masyrakat sekitar. Kehidupan masyarakat Sota yang merupakan suku asli Papua saat itu berburu dan meramu.

Dia datangi satu per satu rumah warga, mengenalkan diri dan berbagi ilmu pertanian. “Warga antusias, kami membuat kelompok. Bibit-bibit sayuran saya datangkan sendiri dari Jawa, saya ajari mereka cara nyetek, menanam pepaya, ubi, nanas dan sayuran seperti kacang, bayam dan lainnya.”

Ladang-ladang sayuran, umbi-umbian kini cukup mudah ditemui di Sota. Di pekarangan belakang rumahnya, kini terdapatpuluhan polybag berisi stek tanaman. Bibit-bibit tanaman itu untuk memenuhi pesanan Pemkab Merauke.

Advertisement

Rumah dinas Ma’ruf hanya berjarak sekitar 50 meter dari tugu perbatasan 13 MM, Indonesia-PNG. Di pekarangan sisi timur rumahnya, sekitar 150 m persegi terhampar rerumputan rapi,  dengan warna-warni bunga.

Musala tua yang dibangun dari kayu menjadi pelengkap fasilitas. Ma’ruf menyebut pekarangan itu camping ground, saat libur sekolah atau pun libur panjang,  banyak sekolah maupun pelancong yang memanfaatkan camping ground untuk berkemah mengisi liburan mereka.

Sisi pekarangan barat, dimanfaatkan Ma’ruf untuk taman baca. Ada sekitar empat gazebo beratap ijuk yang dibangunnya. Di gazebo itu terdapat buku-buku bacaan seadanya. Biasanya, warga sekitar yang memanfaatkan taman baca itu. Sepetak kolam ikan lele, sepasang burung beo, enam angsa, lima rusa dan seekor burung kasuari terdapat di pekarangan itu.

Rusa-rusa dan burung kasuari itu ditempatkan dalam halaman khusus yang berpagar kawat.  “Kalau ada anak-anak yang outbond kesini, bias lihat rusa, kasuari. Ya mereka yang dating ke tugu perbatasan juga mempunyai kesan lain,” tutur pria berputera dua ini.

Advertisement

Taman Pebatasan

Taman perbatasan Merauke- PNG di Sota (Rini Y/JBI/Solopos)

Hari Kamis siang itu, sekitar enam orang remaja pria asyik mengambil gambar di sekitar tugu perbatasan RI-PNG. Senyum mereka mengembang berkali-kali dengan berpose foto mengambil sudut terbaik. Klik, begitu jepretan kamera berbunyi beramai-ramai mereka melihat hasilnya lewat kamera digital yang mereka gunakan.

Farizal, salah satu dari mereka bercerita, dia dan teman-temannya sengaja dating ke Sota untuk menyaksikan tugu perbatasan. “Kami dari Medan, turun di Bandara Mopah, Merauke langsung menuju ke sini. Mau foto-foto sekalian mintapiagam,” ujarnya kepada Solopos.com.

Piagam yang dimaksud yakni selembar kertas yang berisi kolom nama dan kalimat bertuliskan keterangan yang menjelaskan telah mengunjungi perbatasan RI-PNG. Piagam itu ditandatangani oleh Kapolsek Sota.

Para pelancong di tugu perbatasan juga bias menikmati taman perbatasan dan deretan kios oleh-oleh khas Papua. Taman yang terdapat sarang semut biasa disebut masamus itu berukuran sekitar satu hektare.

Advertisement

Taman itu sebenarnya sudah dibangun sejak tahun 2003, hanya saja saat itu terbengkalai hingga rerumputan liar menutupi areal tugu. Baru pada tahun 2005, Ma’ruf menata kembali taman itu. Bangku-bangku, gazebo, toilet di cat ulang dengan dominasi warna merah dan putih.

Tak hanya itu, taman kian dipercantik dengan bunga-bunga, kebun nanas dan beragam tulisan-tulisan penyebar semangat yang terpatri di prasasti-prasasti batu. Bahkan beberapa masamus sengaja dia pagari untuk melindungi agar tak rusak.

“Kalau tidak dipagari, saya pernah mendapati ada pengunjung yang naik sampai ke puncak,” jelas Ma’ruf.

Iptu Ma’ruf berfoto di tugu selamat datang di Sota, Merauke, Papua. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Bagi Ma’ruf, masamus bisa menjadi contoh bagi polisi lainnya. Menurutnya, ada makna filosofis sarang semut bisa berdiri kokoh tanpa merusak alam. “Kita harus belajar dari semut, binatang yang sekecil itu dengan berkelompok, selama bertahun-tahun mampu mendirikan sarang setinggi ini. Dan lagi, pembangunan yang mereka lakukan tak merusak tanah, karena berada di atas tanah tak ada tanah dikeruk sama sekali,” paparnya sambil menunjuk masamus setinggi tujuh meter.

Ma’ruf mengaku darahnya kini merupakan darah Papua. Dia akan tetap bertugas di Sota hingga tanggung jawab yang diberikan negara itu berakhir. Menurutnya, sudah saatnya seorang polisi tak hanya bertugas mengurus tanggung jawab keamanan. Namun, juga melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar.

“Namanya juga harapan ya, saya berharap setiap kampung itu ada polisi. Nah polisi ke depan itu yang juga membina dan memberdayakan masyarakat lewat berbagai bidang, tak melulu soal keamanan.”

Di mata Ma’ruf sejatinya pengabdian kepada negara yakni bila pikiran, tenaga dan hati untuk kebermanfaatan masyarakat luas. Ma’ruf memang bukan polisi biasa.

Advertisement
Kata Kunci : Kisah Inspiratif Merauke
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif