Lifestyle
Selasa, 21 Maret 2017 - 20:15 WIB

WISATA INDONESIA : Jatuh Cinta Kepada Papua

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Senja di Pantai Lampu Satu Merauke, Papua. (Rini Yustiningsih/JIBI/Solopos)

Wisata Indonesia di bagian timur kian memikat, mereka menata kota mempercantik diri.

Solopos.com, MERAUKE — Menjelang Magrib, langit Pantai Lampu Satu Merauke berwarna keemasan. Kuningnya berpendar hingga air laut bak lelehan emas. Rabu (1/2/2017) senja, puluhan orang berburu sunset atau tenggelamnya matahari di pantai yang terletak sekitar 3 km dari pusat Kota Merauke.

Advertisement

Air Pantai Lampu satu surut membuat kapal-kapal seakan terdampar. (Rini Yustiningsih/JIBI/Solopos)

Mereka tak hanya muda-mudi, termasuk pasangan suami-istri bersama putra-putri mereka menghabiskan sore di Lampu Satu. Ada yang bermain sepak bola dan mencari kerang.Tak ketinggalan momen kebersamaan mereka abadikan lewat jepretan kamera.

Menuju Lampu Satu hanya butuh waktu sekitar 10 menit menggunakan kendaraan bermotor. Pantai ini menjadi salah satu jujugan masyarakat maupun wisatawan menghabiskan waktu sore hari.

Advertisement

Pantai yang terletak di Kampung Buti ini pasirnya putih dengan garis pantai memanjang. Deretan kelapa, perkampungan nelayan dan galangan kapal menjadi pemanisnya.

Detik-detik matahari ditelan cakrawala dapat dinikmati dengan mata telanjang. Momen inilah yang banyak ditunggu-tunggu pelancong. Setelah surya tertelan kaki langit barulah mereka beranjak pergi.

Saat pagi hingga sore hari banyak ditemui kapal-kapal dengan jangkarnya yang seakan-akan terdampar, padahal pemandangan ini terjadi karena air surut di pantai bisa mencapai 3 km.

Galangan kapal di Pantai Lampu Satu Merauke dihuni warga asal Bulukumba, Makassar. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Advertisement

Dari bibir pantai, berderet belasan galangan kapal milik warga pendatang dari Tanah Beru, Bulukumba, Makassar. Tanah Beru merupakan daerah penghasil Pinisi. “Tak apalah sini lihat-lihat kami bikin jolloro [kapal berukuran 13 meter],” kata Ali, pekerja di galangan kapal milik Arsyad, kepada Solopos.com.

Perkampungan nelayan dengan rumah-rumah panggung bercat warna-warni mempercantik Lampu Satu. Penghuni rumah mayoritas merupakan warga pendatang dari Jawa, Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Era 1980-an kabupaten seluas 45,07 km2 itu menjadi salah satu daerah tujuan utama transmigrasi. Tak heran, warga asal Jawa mendominasi jumlah penduduk Merauke yang mencapai 260.000 orang (2015). Hanya sedikit warga yang merupakan suku asli Merauke, yakni suku Marind.

 

Advertisement

SELANJUTNYA BACA:  KISAH LIBRA

Libra

Tugu Libra Merauke simbol perdamaian. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Advertisement

Selain Lampu Satu, warga juga banyak menghabiskan sore hari di Tugu Lingkaran Brawijaya (Libra). Lokasi tugu ini sekitar 4 kilometer dari pusat kota.

Tak jauh dari tugu, sekitar 100 meter didapati Masjid Raya Merauke bernama Al Aqsa. Saat sore, pedestrian Libra dimanfaatkan sebagai jogging track. Kursi-kursi taman di sepanjang trotoar menjadi lokasi nongkrong asyik bagi kawula muda.

Perkampungan nelayan di Pantai Lampu Satu Merauke Papua. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Tugu Libra yang dibangun pada 2012 dan diresmikan 2013 oleh Bupati Merauke saat itu, Romanus Mbaraka, mengandung simbol-simbol. Ada angka 969 yang artinya, 9 bermakna damai, 6 keseimbangan. Angka 1902 dengan bola dunia di atasnya bermakna tahun kelahiran Merauke yang harus mendunia.

Tulisan Izakod Bekai Izakod Kai berarti Satu Hati Satu Tujuan. Libra simbol perdamaian dan garda terdepan ujung timur Indonesia.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Merauke yang juga Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Merauke, H. Amirudin Saleh, ketika ditemui di kediamannya, menyebutkan Tugu Libra sebagai simbol kebinekaan Indonesia.

Advertisement

“Semua suku dari Sabang sampai Merauke semua ada di sini. Masyarakat di Merauke bisa hidup damai, rukun, tanpa gesekan sesuai jargon. Libra itu simbol kesatuan Nusantara,” ujar pria asal Makassar yang sejak 1973 tinggal di Merauke.

Masjid Al Aqsa merupakan masjid raya Kota Merauke. (Rini Y/JIBI/Solopos)

Sebutan Istana Damai dan Istana Cinta Kasih bagi kabupaten yang memiliki 20 kecamatan/distrik membuat Merauke kerap menjadi tujuan study banding daerah lain. Termasuk prestasi Merauke menurunkan angka kasus HIV/AIDS.

Ketua Gereja Protestan Indonesia (GPI) Papua-Merauke, Victor Jelira, yang melakukan pendampingan kepada pengidap HIV/AIDS mengatakan dalam dua tahun terakhir, Merauke tak lagi menempati peringkat I kasus HIV/AIDS di Papua. Selama ini Papua dikenal sebagai daerah dengan kasus HIV/AIDS tinggi selain Jakarta.

Pada 2014 tercatat 102 kasus HIV/AIDS, 2015 sebanyak 99 kasus, dan 87 kasus pada 2016. Jumlah kasus HIV/AIDS sejak kasus ini ditemukan pada 1992 hingga 2016 mencapai 1.937.

Jurus jitunya adalah Perda No. 5/2013 yang direvisi menjadi Perda No. 3/2013 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Dalam perda itu salah satunya,  pemakaian pengaman atau kondom menjadi hal wajib dilakukan khususnya di lokalisasi. Warga yang kedapatan tidak memakai kondom khususnya di lokasi prostitusi akan dikenai sanksi, berupa denda minimal Rp100.000 maupun kurungan 4 bulan-6 bulan.

“Di lokalisasi Yobar itu dikontrol betul, semua terdata. Dari mulai jumlah penghuninya, pasokan kondom, hingga pemeriksaan rutin setiap pekan,” tutur Emanuel Riberu, jurnalis Harian Pagi Papua.

Merauke kian bersolek. Selain pesona alam kian dipercantik dengan fasilitas publik, masyarakatnya pun ikut berbenah, menata kotanya hingga membuat pelancong jatuh cinta.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif