Jogja
Sabtu, 18 Maret 2017 - 16:22 WIB

EKONOMI KREATIF : Permudah Seniman Akses Pinjaman, Organisasi Berbadan Hukum Diperlukan

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Musisi senior asal Jogja Djaduk Ferianto (kanan) menjawab pertanyaan wartawan saat jumpa pers Bekraf Financial Club (BFC) di Westlake Resort Jogja, Jumat (17/3). (Bernadheta Dian Saraswati/JIBI/Harian Jogja)

Ekonomi kreatif, pelaku usaha dibidang seni belum dapat mengakses dengan mudah.

Harianjogja.com, SLEMAN — Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyelenggarakan Bekraf Financial Club (BFC) terkait subsektor kriya, seni rupa, dan seni pertunjukan di Westlake Resort Jogja, Jumat (17/3/2017). Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memfasilitasi pelaku ekonomi kreatif untuk memaparkan model bisnis ekonomi kreatif dan mendapat model pembiayaan yang sesuai dari perbankan.

Advertisement

Baca Juga : EKONOMI KREATIF : Pinjaman Bank Belum Berpihak pada Seniman

Acara serupa juga telah diselenggarakan sebanyak dua kali di Jakarta. Pertama untuk subsektor film dan animasi dan kedua untuk aplikasi dan game.

Advertisement

Acara serupa juga telah diselenggarakan sebanyak dua kali di Jakarta. Pertama untuk subsektor film dan animasi dan kedua untuk aplikasi dan game.

Pada kesempatan ini Bekraf juga menghadirkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan informasi kebijakan yang berpihak kepada pelaku ekonomi kreatif, seniman tari Didi Nini Thowok, musisi senior asal Jogja Djaduk Ferianto, seniman kriya Timbul Raharjo, dan ekspertise festival Dinda Intan Pramesti Putri. Ada pula anggota Komisi X DPR RI Irine Yusiana Roba Putri yang turut menjadi pembicara pembuka dalam BFC tersebut.

Belum semua pekerja seni mendapatkan akses modal yang mudah. Kepala Kantor OJK Regional 3 Muhammad Ishanuddin mengatakan, para kreator seni sudah bekerja sekuat tenaga untuk menciptakan sebuah karya tetapi saat ingin mendanai kreasinya agar bisa bernilai jual, tidak ada bank yang mau mendanai usaha mereka.

Advertisement

Penghasilan yang tidak rutin disebut-sebut menjadi alasan perbankan enggan menyalurkan pinjaman pada pekerja seni. Bank takut menanggung risiko jika seniman tidak bisa mengangsur. Padahal, katanya, saat ini ada pihak ketiga seperti Jamkrindo dan Askrindo yang berperan menjamin kredit pinjaman tetap lancar.

Namun ia berpendapat bahwa permodalan tidak hanya bersumber dari bank saja. Para seniman masih memiliki alternatif pinjaman lain misalnya melalui modal ventura atau financial technology.

Ishanuddin mendorong agar seniman  membentuk organisasi berbadan hukum seperti CV atau PT agar proses pengajuan pinjaman berjalan mudah. Pinjaman akan sulit cair manakala pengajuan kredit hanya dilakukan secara personal. Sayangnya, ia menyadari bahwa karakter pelaku UMKM antara satu subsektor dengan subsektor lainnya sangat berbeda.

Advertisement

“Seperti yang dikatakan Djaduk bahwa mereka antimainstream, tidak punya pembukuan dan perpajakan karena penghasilannya tidak rutin, kadang waktu ada job [penghasilan] tinggi, saat nggak ada ya nol,” tuturnya.

Terkait hal itu Djaduk mengatakan, untuk membentuk koperasi saja seniman mengalami kesulitan. Bisa mengadakan pentas pada zaman sekarang ini saja disebutnya sebagai sebuah keistimewaan karena itu berarti bahwa seniman memiliki dana yang besar untuk bisa mempertunjukkan hasil karyanya di depan publik. Namun selama ini pertunjukan yang disponsori perbankan bukan murni atas apresiasi bank kepada seniman namun lebih karena kedekatan emosional pejabat bank dengan seniman. Belum ada kesadaran dari perbankan untuk ikut mendukung pelestarian budaya.Mentalitas Perlu Dibangun

Namun terlepas dari perbankan yang masih menahan untuk membiayai usaha seniman, sebenarnya dari pihak seniman sendiri masih perlu mawas diri. Sebagai pekerja yang juga membutuhkan tambahan modal, seharusnya seniman mau membuka diri kepada investor. Yang terjadi di Indonesia justru seniman seakan masih menutup diri.

Advertisement

“Pernah kita kedatangan buyer dari luar negeri, yang terjadi malah seniman nggak bisa mem-PR[public relations]-kan dirinya. Ada pengaruh kultur di sini di mana orang Jawa nggak mau umuk [sombong]. Padahal mengenalkan produk kita ke orang lain itu penting. Mentalitasnya yang perlu dibangun,” tutur Djaduk.

Ia juga berpendapat, pemerintah jangan hanya memperhatikan seniman yang ada di Ibukota karena seniman di daerah juga berkontribusi melahirkan mahakarya seni untuk Indonesia. “Pemerintah jangan hanya melihat [seniman] dari Jakarta. Yang kontribusi ke ekonomi kreatif juga dari semua daerah. Apalagi kultur pop adalah produk kebudayaan,” tuturnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif