Soloraya
Senin, 13 Maret 2017 - 01:00 WIB

KETAHANAN PANGAN SOLO : Konsep Pertanian Kota ala KWT Surya Mentari Diminati NGO Belgia

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Anggota Kelompok Wanita Tani Surya Mentari, Sartini, menyirami tanaman sayuran di Sekip Asri, Kadipiro, Banjarsari, Solo, Minggu (12/3/2017). (Nicolous Irawan/JIBI/Solopos)

Ketahanan pangan Solo, salah satu NGO asal Belgia berminat mengembangkan konsep pertanian KWT Surya Mentari.

Solopos.com, SOLO — Penolakan. Itulah yang dialami Farida Ariyani saat mengajak para ibu di kampungnya menanam sayur pada 2014 lalu. Keterbatasan lahan serta efek kumuh jika tak terawat menjadi alasan utama penolakan itu.

Advertisement

Menanam sayur dan buah di kompleks perumahan padat penduduk itu hampir mustahil dilakukan. Namun, Farida tak menyerah. Ia ajak 13 orang tetangganya untuk memulai menanam.

“Kami tanam seadanya mulai dari cabai dan terung dalam polybag,” kata Farida, saat ditemui Solopos.com di rumahnya di Kampung Sekip Asri, RT 004/RW 023, Kelurahan Kadipiro, Banjarsari, Minggu (12/3/2017).

Advertisement

“Kami tanam seadanya mulai dari cabai dan terung dalam polybag,” kata Farida, saat ditemui Solopos.com di rumahnya di Kampung Sekip Asri, RT 004/RW 023, Kelurahan Kadipiro, Banjarsari, Minggu (12/3/2017).

Urusan teknik menanam, ibu-ibu mendapatkan ilmu dari suami Farida, Suparman, yang juga pegiat lingkungan hidup. Di tengah-tengah kesibukan merawat sayuran dalam polybag, muncul ketertarikan tetangganya untuk ikut menanam sayur.

Saat panen berlebih, ia bagikan terung dan cabai itu ke rumah-rumah di sekelilingnya. “Kami bagi-bagi ke tetangga, segenggam-segenggam cabai. Mereka sangat senang. Lalu, mereka tertarik untuk ikut menanam,” ujar Koordinator Kelompok Wanita Tani (KWT) Surya Mentari itu.

Advertisement

Selama tiga tahun itu pula kelompok ini tak pernah meminta bantuan kepada pemerintah. Semuanya mereka penuhi secara mandiri. Tanah mereka dapatkan dari halaman belakang rumah Farida.

Pupuk yang dipakai adalah kompos yang dihasilkan dari pengumpulan sampah organik. “Sekarang kami terbiasa barter sayur. Kalau ingin masak terung tapi punya bayam, kami bertukar dengan yang punya terung. Kalau cabai, di setiap halaman rumah di sini pasti punya minimal satu tanaman,” beber Farida, didampingi suaminya, Suparman.

Tak hanya itu, kelompok itu tengah mengupayakan penanaman pohon singkong, pisang, dan ketela kuning, dan aneka sayuran lain di lahan seluas seikitar 2.900 meter persegi di kampung setempat. Lahan itu adalah lahan kosong dan lahan milik warga yang tak terawat.

Advertisement

“Kami juga produksi aneka makanan olahan. Ada abon ikan lele, dawet lele, dendeng lele. Kami juga produksi sirup dan manisan belimbing wuluh. Ini yang paling laris. Belimbing wuluh kami cukup petik di halaman rumah,” kata Farida.

Sartini, 55, mengaku senang bisa terlibat di KWT Surya Mentari. Konsumsi sayuran di rumahnya terbantu dengan sayuran yang ia tanam bersama kelompok. “Kalau mau nyayur tinggal petik. Istilahnya bisa mengurangi belanja dapur,” tutur dia.

Hal senada juga dialami Temu, 50, tetangga Sartini. Ia Selain menghemat pengeluaran rumah tangga, lingkungan Kampung Sekip Asri menjadi lebih rukun dan guyub. Permasalahan-permasalahan yang ditemui warga, dipecahkan secara bersama-sama.

Advertisement

“Kami semua di sini hidup rukun. Apa-apa disengkuyung bareng. Termasuk menanam sayur di sini, kami juga bergantian, siapa yang longgar, merawat,” ujar Temu.

Belum lama ini, kegiatan KWT Surya Mentari dikunjungi pegiat organisasi nonpemerintah (NGO) asal Belgia yang fokus pada peningkatan kesejahteraan petani, Vredes Eilanden Country Office (VECO). Pegiat VECO, Caroline Huyphe, menyatakan tertarik dengan konsep pertanian di lahan terbatas seperti di perkotaan yang dikembangkan Farida, dan kawan-kawan. Ia ingin mengadopsi konsep itu dan mengembangkannya di Belgia.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif