Asal usul Desa Randulanang dinamai dari pohon randu berusia ratusan tahun.
Solopos.com, KLATEN -- Pepohonan tinggi menjadi pemandangan di tengah perkampungan Desa Randulanang, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten. Hampir di setiap kebun hingga halaman rumah warga terdapat tanaman keras seperti jati, randu, serta durian.
Namun, ada salah satu randu yang berada di tengah perkampungan desa memiliki keistimewaan. Diberi pembatas berupa pagar tembok, randu itu memiliki ukuran paling besar dibanding pohon-pohon yang ada di sekitarnya. Tinggi randu sekitar 30 meter dengan keliling diperkirakan lebih dari 10 meter.
Kepala Desa Randulanang, Sumarno, mengatakan pohon itu menjadi ikon desa. Nama Desa Randulanang berasal dari keberadaan pohon itu. Ia menjelaskan randu berarti nama pohon berbuah kapuk dan lanang artinya laki-laki.
“Di pohon itu ada semacam batangnya yang berbentuk seperti [alat kelamin] laki-laki, sehingga desa ini dinamakan Randulanang. Kalau keliling pohon itu diukur ya setara dengan 30 orang bergandengan tangan. Umur pastinya kami juga tidak tahu persis. Ya kira-kira ratusan hingga seribuan tahun,” kata dia saat ditemui di kantor desa, Jumat (10/3/2017).
Dari cerita yang disampaikan secara turun temurun, Sumarno menjelaskan keberadaan pohon itu bermula ketika sepasang suami istri mendatangi salah satu kawasan di Jatinom untuk bermukim.
Sebelum menjadi perkampungan, Randulanang merupakan hutan belantara. “Konon ceritanya itu dulu ada Eyang Imam Suwongso dan istrinya Nyai Asih tinggal di sini. Kemudian menanam pohon randu itu,” ungkapnya.
Lambat laun, orang berdatangan untuk bermukim di kawasan tersebut hingga menamakan desa setempat dengan Randulanang. Hal itu termasuk sesepuh Sumarno bernama Merto Manggolo.
“Jadi, kakek saya itu bernama Merto Manggolo, masih satu keluarga dengan Wongso Manggolo yang aslinya dari Boyolali. Nama-nama sesepuh desa diabadikan melalui nama jalan di perkampungan,” urai dia.
Jarang Disorot, Ini Fakta Menarik Istri Didi Kempot
Sumarno menjelaskan warga setempat memiliki tradisi yang digelar untuk sebagai bentuk syukur serta merawat sejarah yang ada di desa setempat. Kegiatan berupa pagelaran wayang kulit.
“Setiap 1 Sura kami menggelar wayangan. Itu sudah diadakan sejak nenek moyang sebagai bentuk syukur kami atas limpahan hasil bumi yang didapatkan di desa,” urai dia.