Soloraya
Minggu, 12 Maret 2017 - 23:40 WIB

KISAH TRAGIS : Rumah Nenek Hidupi 3 Cucu di Klaten Kini Tak Lagi Punya Rumah

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Samiyem, 60, warga Dukuh Bayemrejo, Desa Kalikebo, Kecamatan Trucuk, Klaten, mengumpulkan puing-puing bangunan rumahnya yang ambruk Jumat (10/3/2017) petang. (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Bencana Klaten, rumah seorang nenek yang harus menghidupi tiga cucunya ambruk karena lapuk.

Solopos.com, KLATEN — Tersisa tanah dan tumpukan kayu lapuk. Itulah pemandangan yang terlihat di bekas rumah Samiyem, 60, warga RT 20/RW 006, Dukuh Bayemrejo, Desa Kalikebo, Kecamatan Trucuk, Sabtu (11/3/2017) pagi. Rumah Samiyem ambruk Jumat (10/3/2017) petang lantaran tiang penyangga rumah sudah lapuk.

Advertisement

Rumah berdinding kayu dan anyaman bambu serta berlantai tanah berukuran 8 meter x 12 meter itu selama ini menjadi tempat tinggal Samiyem bersama cucu-cucunya. Ambruknya bangunan rumah yang dibangun pada 1975 tersebut mengharuskan Samiyem beserta cucu-cucunya tinggal menumpang di rumah Didik, 30, yang bersebelahan dengan tempat tinggal mereka.

Didik adalah putra Samiyem yang bekerja sebagai penjual es. Kondisi rumah Didik berdinding kayu serta berlantai tanah. Nenek kurus itu hanya bisa pasrah setelah rumahnya ambruk.

Advertisement

Didik adalah putra Samiyem yang bekerja sebagai penjual es. Kondisi rumah Didik berdinding kayu serta berlantai tanah. Nenek kurus itu hanya bisa pasrah setelah rumahnya ambruk.

“Nang kene eneke ngenes karo ngenes [di sini adanya mengenaskan dan mengenaskan],” tutur Samiyem saat ditemui di rumah anaknya tersebut.

Warga setempat mengenal Samiyem sebagai nenek yang selama tujuh tahun terakhir menjadi tulang punggung bagi cucu-cucunya. Awalnya, ada empat cucu yang harus ia hidupi. Namun, salah satu cucunya bernama Desi dua tahun terakhir sudah merantau ke Malaysia setamat SMK.

Advertisement

Kondisi keluarganya yang miskin mengharuskan Samiyem banting tulang bekerja serabutan demi menghidupi keempat cucunya. “Kalau suami saya sudah meninggal dua tahun lalu,” ungkapnya.

Berbagai hal dilakukan Samiyem untuk mendapatkan penghasilan. Saban hari, ia mengumpulkan daun jati kering untuk dijual. “Kalau dijual itu harganya Rp500/kg. Saya tidak tahu pasti daun jati itu untuk apa. Katanya bisa diolah menjadi pupuk,” urai dia.

Tak hanya mengumpulkan daun jati di sekitar rumahnya, ia kerap bepergian hingga ke wilayah Semin, Gunung Kidul. “Saya naik sepeda kayuh sampai ke Cawas kemudian naik bus ke Semin. Di sana saya cari jamur selo di bawah tanaman kedelai yang nanti bisa dijual di pasar untuk membuat pecel. Kalau pulang-pergi naik bus biayanya Rp10.000,” ungkapnya.

Advertisement

Nenek itu pun tak jarang memunguti sisa gabah di lahan pertanian seusai panen. Gabah itu ia kumpulkan untuk digilingkan menjadi beras. “Hasilnya bisa untuk makan,” urai dia.

Dari hasil jerih payahnya itu, penghasilan yang diperoleh Samiyem tak menentu. Terkadang wanita itu dalam sehari bisa mendapat penghasilan Rp30.000. “Terkadang juga tidak dapat apa-apa. Hasil saya bekerja untuk uang saku cucu-cucu sekolah serta kebutuhan makan,” ungkapnya.

Samiyem bersyukur salah satu cucunya yang dua tahun terakhir bekerja di Malaysia bisa meringankan bebannya dengan rutin mengirim sejumlah uang untuk membantu memenuhi kebutuhan sekolah. Namun, nenek itu belum berpikiran berhenti bekerja meski kondisi raganya tak lagi muda.

Advertisement

“Saya hanya ingin yang terbaik bagi cucu-cucu saya. Salah satu cucu saya saat ini duduk di kelas III Jurusan Keramik SMK Rota Bayat. Dia berkeinginan untuk kuliah dan sudah saya carikan surat keterangan miskin. Mudah-mudahan cita-citanya terkabul,” kata Samiyem.

Sementara itu, salah satu putra Samiyem, Didik, mengatakan kemiskinan tak menghalangi keempat keponakannya berprestasi di sekolah. “Desi sudah bekerja di Malaysia. Sementara Asrif saat ini masih kelas III SMK Rota Bayat. Yang ketiga bernama Lani kelas I MAN Karanganom, dan Alfina Marwati kelas VI SDN 3 Kalikebo. Semuanya berprestasi di sekolah. Mereka sering mendapat ranking satu di kelas,” ungkapnya.

Ketua RW 006, Desa Kalikebo, Suratman, 59, mengatakan Samiyem merupakan salah satu warga miskin di kampungnya. “Ya selama ini dia yang menghidupi cucu-cucunya itu karena ibu mereka sudah meninggal dunia,” urai dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif