Jogja
Selasa, 7 Maret 2017 - 20:55 WIB

THE LOST WORLD CASTLE : Ini Curhat Pelaku Wisata di Petung

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - The Lost World Castlel yang ramai dikunjungi warga (Abdul Hamied Razak/JIBI/Harian Jogja)

The Lost World Castle ternyata memiliki cerita panjang.

Harianjogja.com, SLEMAN — Keinginan warga Petung, Kepuharjo untuk membuka wisata baru menemui jalan terjal. Sempat menikmati manisnya wisatawan yang banyak berkunjung, saat ini semua sirna setelah Pemkab Sleman menutup icon wisata di lokasi tersebut.

Advertisement

Dusun Petung saat ini memang tinggal nama akibat tersapu erupsi Merapi 2010 laku. Warga yang menghuni dusun tersebut, saat ini tinggal di area hunian tetap (huntap) Pagerjurang, Kepuharjo. Sejak tinggal di huntap, nyaris tidak ada aktivitas ekonomi yang menonjol di sana.

Sesekali warga huntap menerima kunjungan wisatawan, lalu lalang jeep wisata yang membawa wisatawan Merapi. “Warga hanya bisa menonton, tapi tidak bisa menikmati hasilnya (wisata). Kemudian muncul ide untuk menghidupkan kembali potensi wisata di Petung,” kata Erwan Wiharja, warga sekitar, Kamis /2017lalu.

Advertisement

Sesekali warga huntap menerima kunjungan wisatawan, lalu lalang jeep wisata yang membawa wisatawan Merapi. “Warga hanya bisa menonton, tapi tidak bisa menikmati hasilnya (wisata). Kemudian muncul ide untuk menghidupkan kembali potensi wisata di Petung,” kata Erwan Wiharja, warga sekitar, Kamis /2017lalu.

Muncullah ide untuk membuka wisata baru nan eksotis. Itu dimulai 2013 lalu. Saat itu, datang Ayung warga Jogja yang menggagas wisata the lost world atau kota yang hilang. Menurut Erwan, konsep kota yang hilang tersebut mengibaratkan hilangnya sebuah pemukiman (dusun petung) yang dimunculkan lagi dalam konsep berbeda.

Tiga tahun kemudian, berdirilah the lost world castel. Sebuah bangunan megah menyerupai benteng di kawasan rawan bencana (KRB) III itu. Warga juga membangun wisata sendiri berkonsep stonehange. Lambat laun, lokasi wisata tersebut terkenal. Banyak pengunjung yang datang, baik dari sekitar DIY hingga berbagai kota.

Advertisement

“Sebelum ada lokasi wisata ini, sebagian warga menjadi penambang. Lainnya yang punya modal buka usaha. Namun sejak aktivitas wisata disini berjalan, banyak yang beralih dari penambang ke pelaku wisata. Entah menjadi pemandu atau tukang parkir,” kata Dukuh Petung Pairin.

Hasilnya cukup menggembirakan. Untuk tukang parkir saja, dalam sehari mereka bisa meraup uang Rp100.000. Tidak perlu capek-capek menyangkul tambang pasir dengan segala resikonya. Tidak perlu merusak alam yang sejatinya mereka cintai.

“Saya punya bukit pasir itu. Kalau saya mau, bisa saja saya tambang, tapi saya tidak mau merusak alam. Dengan adanya wisata baru ini, jelas harapan peningkatan kesejahteraan bagi kami muncul,” kata Gotel, warga Petung lainnya.

Advertisement

Menurut Erwan, pemerintah tidak memikirkan efek sosial lainnya yang selama ini ditanggung warga. Sebagai makluk ekonomi, katanya, keberadaan warga Petung di huntap saat ini tidak bisa tinggal diam. Mereka memiliki anak, kelak saat dewasa, anak tersebut akan berkeluarga. Warga, kata Pairin, butuh bertahan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.

“Tidak mungkin rumah huntap selamanya mampu menampung perkembangan keluarga tersebut. Dibukanya wisata itu, menjadi kunci bagi warga untuk menambah penghasilan,” timpal Gotel.

Pairin mengaku, biaya hidup selama di Huntap cukup tinggi. Ketersediaan bahan sandang, papan dan pangan tidak mudah didapat. Termasuk penghasilan warga. Menghidupkan lokasi wisata di Petung, katanya, menjadi solusi bagi warga untuk memenuhi hajat hidupnya. Toh, kata Pairin, warga tidak merusak keberadaan alam di sana.

Advertisement

“Sebagian memang ada yang mengelola pertanian, ada hutan rakyat. Untuk mengandalkan hasil kebun dan hutan tidak bisa buat harian, solusinya buka tempat wisata,” kata Pairin.

Warga katanya, hanya ingin bertahan hidup sebagai pelaku wisata. Keberadaan wisata baru di sana dilakukan tanpa merugikan pihak lain ataupun gesekan dengan tata alam. Sayang, keinginan warga tidak terkabul sejak Pemkab menutup kawasan kastil tersebut sebagai lokasi wisata. Pendapatan warga pun turun drastis, seiring turunnya jumlah pengunjung. Wargapun kecewa dengan kebijakan pemkab.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif