News
Kamis, 23 Februari 2017 - 18:30 WIB

Politikus Gerindra Tuding Pemerintah Tertutup Soal Strategi Hadapi Freeport

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

Politikus Gerindra menuding pemerintah tak terbuka terhadap DPR soal strategi menghadapi Freeport.

Solopos.com, JAKARTA — Sikap tegas Pemerintah Indonesia terhadap Freeport kali ini juga tak luput dari kritik. Pemerintah dinilai tidak terbuka kepada DPR terkait kompleksitas rencana perubahan kontrak karya PT Freeport Indonesia sehinga dikhawatirkan ada pihak tertentu yang mengambil keuntungan dengan persoalan perizinan usaha tambang.

Advertisement

Hal itu mengemuka dalam diskusi Freeport: Kebijakan Pemerintah dan Ancaman Korporasi. Diskusi itu menghadirkan anggota Komisi VII Harry Purnomo dan pengamat energi dan pertambangan dari Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinan Hutahaean di Gedung DPR, Kamis (23/2/2017).

“Pemerintah tidak terbuka untuk berkomunikasi dengan DPR soal strategi menghadapi Freeport,” ujar Harry. Menurutnya, sejak kasus kontrak karya bergulir, pemerintah terkesan tertutup sehingga Komisi VII DPR tidak bisa menggali lebih jauh mengenai persoalan yang sangat strategis itu di sektor pertambangan.

Bahkan, secara keseluruhan politikus Partai Gerindra itu mengatakan bahwa ada kesan DPR hanya sebagai tukang stempel atas kebijakan pemerintah. Kesan itu, ujarnya, muncul setelah kekuatan partai pendukung pemerintah semakain kuat. Sedangkan partai yang berada di luar pemerintah kian sedikit termasuk PKS dan Gerindra.

Advertisement

Dia mengatakan bahwa tanpa merendahkan arti nasionalisme, akan sulit bagi Indonesia untuk menghadapi Freeport dalam kasus ancaman gugatan Freeport ke Arbitrase Internasional. Menurutnya, tim negosiasi Indonesia tidak saja merasa inferiror, akan tetapi juga banyaknya kelemahan kita dalam hal kemampuan teknologi dan permodalan.

Sementara itu, Ferdinand Hutahaean mengatakan bahwa telah terjadi kesalahan awal pada kontrak karya yang telah ditandatangani. Menurutnya, kontrak karya tidak pernah mencantumkan bahwa seluruh peralatan akan menjadi milik Indonesia kalau kontrak berakhir. Dengan demikian, kalau Freeport benar-benar hengkang karena ngototnya pemerintah mengubah kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertabangan Khusus (IUP), maka Indonesia akan dirugikan.

Sedangkan terkait kecurigaan atas adanya oknum pejabat yang ‘bermain’ dalam sengketa ini, lebih jauh dia mengatakan ada sinyalemen yang jelas mengenai hal itu. “Ada dugaan agenda tersimpan di dompet belakang. Di depan pura pura nasionalisme, tapi diam-diam mengeruk keuntungan,” ujarnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif