News
Senin, 20 Februari 2017 - 21:01 WIB

Freeport Bawa Sengketa ke Arbitrase, Pemerintah Ogah Ditekan

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

Freeport akan membawa sengketa kontrak karya ke arbitrase.

Solopos.com, JAKARTA — PT Freeport Indonesia (PTFI) akhirnya menggunakan ketentuan Kontrak Karya Pasal 21 Ayat 2 yang menetapkan waktu 120 hari untuk bernegosiasi menyelesaikan sengketa kontrak sebelum masalah tersebut bisa dibawa ke arbitrase.

Advertisement

Dalam ketentuan tersebut, sebelum maju ke arbitrase, PTFI dan pemerintah harus melakukan segala upaya untuk menyelesaikan sengeta melalui konsultasi dan menggunakan cara pemecahan administratif. Adapun perusahaan tidak diwajibkan mencari pemecahannya untuk waktu lebih dari 120 hari setelah memberitahukan pemerintah tentang sengketa yang akan timbul.

Ada beberapa ketentuan dalam Kontrak Karya yang menjadi dasar sengketa tersebut. PTFI memiliki hak perpanjangan 2 x 10 tahun setelah 2021. Telah disepakati bahwa persetujuan perpanjangan tidak akan ditunda atau ditahan secara tidak wajar dan PTFI bisa mengajukannya setiap saat. Selain itu, ada pula masalah kewajiban pemurnian di dalam negeri, dalam hal ini tambahan smelter, dan pengenaan bea keluar.

Presiden dan CEO Freeport-McMoRan Inc, Richard C. Adkerson, mengungkapkan pihaknya telah mengirim surat kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan terkait potensi sengketa tersebut pada 17 Februari 2017. PTFI menyampaikan kepada Kementerian ESDM mengenai tindakan-tindakan yang dianggap sebagai wanprestasi dan pelanggaran KK oleh pemerintah.

Advertisement

“Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan itu dengan pemerintah, maka Freeport bisa melaksanakan haknya untuk menyelesaikan dispute itu. Jadi, hari ini Freeport tidak melaporkan arbitrase, tapi kita memulai proses untuk melakukan arbitrase,” katanya di Fairmont Hotel Jakarta, Senin (20/2).

Selama negosiasi, PTFI tidak akan menggunakan rekomendasi ekspor konsentrat tembaga yang telah diberikan oleh Kementerian ESDM. Pasalnya, sampai saat ini Freeport Indonesia belum mau mengakui Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diberikan pemerintah sebagai pengganti KK.

Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan IUPK untuk PTFI. Keputusan itu berdasarkan permohonan perubahan status yang telah diajukan PTFI pada 26 Januari 2017. Namun dalam permohonan tersebut, ada ketentuan-ketentuan yang belum disepakati kedua belah pihak. Alhasil, PTFI menganggap ada upaya penghentian KK dengan menggantinya menjadi IUPK secara sepihak.

Advertisement

Adapun PTFI akan mengubah KK menjadi IUPK apabila disertai dengan perjanjian stabilitas investasi dengan tingkat kepastian fiskal dan hukum yang sama dengan yang diatur di KK. Menanggapi hal tersebut, Jonan menyatakan ada tiga alternatif penyelesaian sengketa kontrak dengan PTFI. Pertama, perusahaan itu patuh pada peraturanperundang-undangan.

Dalam hal ini PTFI bisa menerima status IUPK yang diterbitkan pemerintah, sehingga dapat melakukan ekspor konsentrat, sambil tetap bernegosiasi tentang stabilisasi investasi selama maksimal enam bulan. Kedua, adalah perubahan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), namun memakan waktu lama.

Jika dua opsi tidak ada menemui titik temu, maka pilihan terakhir adalah melalui arbitrase. “Kalau tidak tercapai titik temu memang hak masing-masing untuk bisa bawa ke arbitrase. Bukan hanya Freeport yang bisa bawa ke arbitrase, pemerintah juga bisa,” katanya di gedung DPR.

Sebelumnya, dia pun menyatakan membawa masalah tersebut ke jalur arbitrase menjadi pilihan yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan karyawan. Menurutnya, cara tersebut kerap digunakan untuk menekan pemerintah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif