Soloraya
Jumat, 10 Februari 2017 - 09:00 WIB

BOYOLALI UNDERCOVER : Tradisi Nikah Muda Gadis-Gadis Lereng Merbabu

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sunrise di jalur pendakian Selo, lereng Merbabu Boyolali, Sabtu (16/8/2015). (Dok/JIBI/Solopos)

Boyolali undercover, pernikahan dini di Selo, lereng Merbabu lazim ditemui.

Solopos.com, BOYOLALI — Desa Jrakah dan Klakah, Kecamatan Selo, Boyolali terletak di lereng Merbabu. Dusun-dusun terpencil di dua desa itu dikenal dengan tradisi pernikahan dini, atau nikah muda. Gadis-gadis di lereng gunung itu selepas lulus SD maupun SMP lebih memilih membangun mahligai pernikahan.

Advertisement

Seperti di rumah Sargino, 34, warga Desa Klakah, Kamis (26/1/2017). Pagi itu, dia menggelar pesta pernikahan putri semata wayangnya yang masih berusia 14 tahun. Sang putri harus mengakhiri masa-masa kebahagiaannya sebagai seorang anak.

Bocah itu secara resmi telah dipersunting seorang pria dari desa sebelah. Ia pun kini telah menyandang status baru dari seorang siswi SMP menjadi seorang istri rumah tangga.

Advertisement

Bocah itu secara resmi telah dipersunting seorang pria dari desa sebelah. Ia pun kini telah menyandang status baru dari seorang siswi SMP menjadi seorang istri rumah tangga.

“Sebenarnya sempat dilarang oleh petugas KUA karena umurnya belum cukup. Tapi gimana lagi, masa kami menolak lamaran, mengke ndak mirangke [nanti malah bikin malu],” ujar Sargino didampingi sejumlah kerabatnya.

Sargino tak melangkah mundur meski dilarang petugas KUA. Dibantu sejumlah kerabatnya, Sargino mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama (PA) Boyolali. Baginya, kehormatan keluarga dan kekerabatan tetap harus dijaga. Toh, kata dia, anaknya juga tak keberatan menikah dini. “Malah anak saya sendiri yang minta nikah setamat SMP. Kami sebagai orang tua, ya enggak bisa melarang,” ujarnya seraya menyebut hubungan anaknya dengan calon suaminya saat itu sempat berjalan 1,5 tahun.

Advertisement

Perawan Kasep

Sargino sama sekali tak melihat keanehan dalam pernikahan anaknya itu. Sebab, di desanya anak-anak perempuan menikah setelah lulus SD dan SMP memang sudah menjadi kelaziman. Justru anak perempuan yang belum menikah menjelang 20 tahun, kata dia, menjadi beban keluarga. “Orang-orang menyebutnya perawan kasep,” timpal kerabat Sargino.

Keluarga Sargino memiliki segudang argumentasi untuk mematahkan argumentasi yang menyudutkan pernikahan dini anaknya itu. Selain psikologi anaknya yang dinilai telah dewasa, mendidik istri saat masih mudah juga dianggap lebih mudah. “Kalau istri sudah dewasa, biasanya cenderung melawan saat dinasihati. Beda kalau masih muda,” terangnya.

Advertisement

Lain Sargino, lain pula Purwanti. Warga Desa Jrakah Selo ini mengaku menikah dini beberapa tahun lalu demi menjaga kekerabatan keluarga besar. Meski demikian, keluarga Purwanti melihat ada sisi positifnya dari pernikahan dini warga lereng Merbabu. Salah satunya tak adanya perzinaan atau pergaulan bebas pasangan muda-mudi layaknya di kawasan perkotaan.

Tak Ada Perzinahan

Ia juga tak melihat adanya tren perceraian tinggi gara-gara nikah dini. “Warga Selo memang banyak yang nikah muda dan pendidikan mereka rata-rata SD-SMP. Tapi, mereka tak gampang cerai. Mereka terlatih untuk kerja keras dan patuh orang tua,” jawab suami Purwanti, Masjek.

Advertisement

Berdasarkan data yang dilansir KUA Selo, dari 221 perempuan yang menikah, 99 perempuan di antara berusia di bawah 19 tahun. Jrakah dan Klakah adalah desa terbanyak dalam hal pernikahan muda.

“Rata-rata, mereka menikah lulus SMP dan SD. Ada yang menikah siri dulu, lalu begitu umur 16 tahun baru datang ke KUA,” ujar Kepala KUA Selo, Imam Suwanto.

Menurut Suwanto, bukan hal mudah mengubah tradisi pernikahan dini di Selo dan daerah-daerah lainnya di lereng Merbabu. Faktor pendidikan adalah masalah utama. “Sebenarnya ada dua orang asal Selo yang meraih sarjana kedokteran. Tapi, mereka kini tinggal di Palembang dan Sukoharjo,” bebernya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif