Lifestyle
Kamis, 9 Februari 2017 - 23:10 WIB

TIPS CINTA : Cara Menghadapi Pertanyaan “Kapan Nikah?” Menurut Psikolog

Redaksi Solopos.com  /  Septina Arifiani  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi menikah (Proprofs.com)

Tips cinta memberikan cara menghadapi pertanyaan kapan nikah?

Solopos.com, SOLO – Bagi Anda yang masih berstatus single di usia 20 tahun ke atas biasanya pernah mendapat pertanyaan “kapan menikah?” oleh teman atau saudara. Pertanyaan bersifat pribadi tersebut seringkali membuat orang yang bersangkutan merasa tak nyaman.

Advertisement

Menurut psikolog sosial Juneman Abraham, komentar yang menyentil kaum jomblo yang masih melajang sebenarnya bentuk kontrol sosial. Juneman mengatakan sudut pandang yang tepat adalah cara bertahan dan tetap santai menghadapi “tekanan sosial” yang kerap membuat “kuping berasap”. Berikut beberapa tips yang dapat Anda lakukan ketika mendapat pertanyaan tersebut sebagaimana dilansir Antara, Kamis (9/2/2017):

Relevansi kontrol sosial
Dia mengemukakan kontrol sosial yang mendesak orang untuk menikah sebenarnya sudah tidak relevan lagi dalam konteks angka kelahiran di Indonesia yang tinggi.

Advertisement

Relevansi kontrol sosial
Dia mengemukakan kontrol sosial yang mendesak orang untuk menikah sebenarnya sudah tidak relevan lagi dalam konteks angka kelahiran di Indonesia yang tinggi.

“Dalam hal ini, masyarakat atau sosial sebenarnya sudah kehilangan satu argumen yang penting untuk menghadirkan tekanan sosial untuk menikah,” kata dia.

Hak menentukan diri sendiri
Jangan lupa seseorang punya hak untuk menentukan diri sendiri. Meski seorang individu tidak bisa lepas dari masyarakat, tapi individu dan masyarakat semestinya saling menghargai dan posisi keduanya harus seimbang.

Advertisement

Masyarakat tidak bertanggungjawab atas tindakan individu
Menikah adalah keputusan bebas dari dua individu, artinya dua orang ini siap bertanggungjawab atas kehidupan mereka kelak. Keputusan untuk menikah atau memiliki anak ada di tangan kita sendiri karena kita yang menjalaninya.

Persepsi yang jernih
Sebelum naik pitam karena mendengar pertanyaan yang itu-itu saja, sadarilah banyak komentar “kapan nikah?” atau “kapan punya anak?” kebanyakan adalah basa-basi saat tidak ada bahan pembicaraan.

Bila Anda berpikir seperti itu, Anda menyadari bahwa sebenarnya lingkungan tidak benar-benar peduli soal status di KTP atau berapa anak yang harusnya dimiliki. Jadi, komentar seperti itu sebaiknya jangan dianggap sebagai tekanan sosial.

Advertisement

Miliki filosofi hidup dan gambar diri yang jelas
Apakah Anda sudah punya gambar diri yang jelas? Siapakah saya di dunia ini? Dari manakah saya dan hendak ke manakah saya? Bila ya, berarti Anda tahu apa yang benar-benar Anda inginkan. Dengan demikian, komentar dari orang lain takkan mudah membuat Anda terombang-ambing.

Orang yang sudah tahu apa yang ia inginkan akan berkutat melakukan sesuatu untuk mewujudkan hal tersebut. Bila ada masukan dari masyarakat yang sejalan dengan itu, Anda akan menggarapnya.

Anda bukan remaja lagi
Diri seorang remaja didominasi oleh “diri sebagaimana dilihat oleh mata orang lain”. Remaja merasa tidak nyaman dan kurang berharga bila tahu dirinya tidak elok di mata orang lain.

Advertisement

Anda sudah dewasa dan tahu bahwa Anda berharga bukan karena penerimaan dari luar diri kita, tapi dari perjuangan sendiri. “Pada usia ini, kita juga semestinya mengerti bahwa kita tidak mampu menyenangkan semua orang,” kata Juneman.

Verba volant
Ungkapan latin kuno yang artinya “hal-hal yang dikatakan saat ini akan menguap.” Pertanyaan “kapan nikah?”, “kok belum hamil?” akan menguap dan lenyap pada hari itu juga.

Padahal pernikahan atau memiliki anak adalah proyek permanen dan abadi, bukan persoalan untuk menanggapi situasi hari ini.

Pikirkan baik-baik, apakah dengan merespons “tekanan lingkungan” (misalnya cepat-cepat menikah daripada dijuluki perawan tua) gambar diri kita di masa depan akan semakin indah atau justru rusak?

Spiritualitas yang benar
Psikolog sosial mengatakan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat religius. Sehingga, ungkapan “Aku menikah karena Tuhan; aku tidak menikah juga karena Tuhan” bisa dimaklumi.

“Maksudnya adalah bahwa baik menikah maupun tidak menikah, sepanjang merupakan panggilan dari Tuhan, maka keduanya merupakan sarana beribadah kepada-Nya. Dua-duanya bisa sama berkualitasnya.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif