Soloraya
Senin, 23 Januari 2017 - 21:15 WIB

KEMISKINAN KLATEN : Terus Menerus Di-bully, Gadis Wedi Ini Putuskan Berhenti Sekolah

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ganissa Ariastri Afizah, 14, warga Dukuh Patran, Desa Kalitengah, Wedi, bejalar di Bimbingan Belajar Sains Learning Center (SLC), Desa Pandes, Wedi, Senin (23/1/2017). (Taufiq Sidik Prakoso/JIBI/Solopos)

Kemiskinan Klaten, seorang remaja berusia 14 tahun putus sekolah karena sering di-bully.

Solopos.com, KLATEN — Ganissa Ariastri Afizah, 14, dengan gembira menceritakan masa-masa dia bersekolah. Ia pun tak sungkan berbagi cerita terkait aktivitasnya berjualan es lilin ke sekolah-sekolah di Kecamatan Wedi, Klaten.

Advertisement

Ganis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Purwoko, 48, dan Suniyati, 48, yang tinggal di Dukuh Patran, Desa Kalitengah, Kecamatan Wedi. Remaja tersebut putus sekolah sejak sekitar 1,5 tahun lalu lantaran merasa kerap menjadi korban bully atau risak teman-temannya.

Selama sepekan terakhir, ia berjualan es lilin serta makanan ringan ke sekolah-sekolah di wilayah Wedi. Namun, Ganis tak berjualan pada Senin (23/1/2017) lantaran bersama ibunya memenuhi undangan Joko Istiyanto, pemilik bimbingan belajar Sains Learning Center (SLC) di Jl. A. Yani, Desa Pandes, Wedi.

Advertisement

Selama sepekan terakhir, ia berjualan es lilin serta makanan ringan ke sekolah-sekolah di wilayah Wedi. Namun, Ganis tak berjualan pada Senin (23/1/2017) lantaran bersama ibunya memenuhi undangan Joko Istiyanto, pemilik bimbingan belajar Sains Learning Center (SLC) di Jl. A. Yani, Desa Pandes, Wedi.

Ditemui di SLC, Ganis menceritakan saat usia SD, ia sampai tiga kali berpindah sekolah. Pertama, ia sekolah di SD Percobaan Negeri Setia Budi, Bandung, Jawa Barat.

Sekolah di tanah kelahiran ibunya, Ganis bertahan hingga kelas II SD. Ia pun mengikuti orang tuanya yang pindah ke Klaten dan melanjutkan pendidikan di SD Muhammadiyah Kauman, Wedi, tapi hanya sampai kelas IV. Ganis lantas melanjutkan pendidikan di SDN 2 Ngering, Wedi.

Advertisement

Ia melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah 8 Wedi. Setelah dua bulan sekolah SMP, Ganis memutuskan untuk berhenti. Hal itu lantaran Ganis merasa tak memiliki teman hingga ia merasa minder.

Jika tetap melanjutkan sekolah, semestinya Ganis saat ini duduk di bangku kelas VIII. “Sebelum berjualan itu ya setiap hari hanya di rumah, menonton televisi sambil menunggui bapak yang sakit,” kata Ganis dengan logat sundanya.

Setelah 1,5 tahun hanya berada di rumah, Ganis memiliki ide berjualan. Ide berjualan itu muncul salah satunya lantaran ingin meringankan beban orang tua yang pendapatannya tak menentu. Orang tuanya hanya buruh serabutan.

Advertisement

Bermodal tabungan Rp88.000, ia meminta ibunya mengajari cara membuat es lilin. Lantaran tak memiliki mesin pendingin, Ganis menitipkan es kuncir yang ia buat ke kulkas tetangga.

“Saya bikin sendiri. Setelah Magrib, saya membuatnya kemudian dititipkan ke kulkas tetangga. Keesokan paginya baru saya ambil. Saya kasih imbalan Rp800,” kata Ganis.

Ganis menjual es tersebut dengan cara dimasukkan ke termos. Mulai pukul 08.00 WIB hingga 12.00 WIB, Ganis mengendarai sepeda kayuh mendatangi sejumlah sekolah di wilayah Wedi.

Advertisement

Setiap es lilin buatannya dijual dengan harga Rp500-1.000. Selain es lilin, Ganis juga menjual makanan kecil. “Saya sering ditanya, kenapa tidak sekolah? Ya saya jawab karena tidak ada uang,” kata Ganis.

Setiap hari, Ganis mengantongi pendapatan sekitar Rp15.000. Ia pun menyimpan uang yang diperoleh setelah dikurangi untuk modal membeli bahan serta jajanan. Dari hasil perjuangannya, Ganis membeli telepon seluler seharga Rp90.000.

“Ponsel sudah bisa buat memutar lagu,” kata Ganis yang bercita-cita menjadi penyanyi itu.

Orang tua Ganis, Suniyati, mengatakan kakak serta adik Ganis saat ini masih sekolah di SMK serta SD. Ia menceritakan anaknya mengidap epilepsi saat duduk di kelas III SD. Dari penyakit tersebut, anaknya kerap dirisak (di-bully).

“Namanya juga anak masih kecil, ada temannya yang kadang sengaja memancing emosi Ganis. Kalau sudah emosi, Ganis jadi tidak terkontrol dan bisa jatuh serta kejang-kejang,” kata Suniyati.

Suniyati hanya berharap Ganis bisa terus melanjutkan sekolah. “Kalau anak saya masih ada semangat, orang tua terus mendorong yang terbaik saja,” katanya.

Soal pekerjaan, Suniyati mengatakan selama ini ia hanya bekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Sementara suaminya sakit-sakitan sejak tiga tahun lalu.

“Ya penghasilan saya tidak menentu. Kalau ada yang meminta dibantu untuk setrika atau mencuci baju saya bantu,” urai dia.

Pemilik bimbingan belajar SLC, Joko, mengatakan saat ini sedang menggalang bantuan agar Ganis bisa melanjutkan sekolah. Sembari menunggu tahun ajaran baru, Joko memfasilitasi Ganis belajar di bimbingan belajar miliknya secara gratis. “Jadi, ia bisa ikut belajar di bimbingan ini sore hari,” kata dia.

Dengan proses belajar sore hari, Ganis memiliki kesempatan berjualan saat pagi. Ganis pun mengaku masih bersemangat untuk berjualan. “Ini juga mau menabung untuk persiapan Lebaran. Selain itu, saya juga ingin memperbaiki rem sepeda karena sudah tidak pakem lagi,” kata Ganis.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif