Lifestyle
Minggu, 22 Januari 2017 - 15:20 WIB

WISATA JOGJA : Jelajah Malioboro, Mengintip Sejarah Kawasan Malioboro (Bagian 1/2)

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah mahasiswa dan warga penggiat sejarah mendengarkan penjelasan tentang pendirian bank dan kantor pos saat mengikuti jalan-jalan sore "Malioberen" di sepanjang jalan Malioboro, Yogyakarta, Sabtu (14/01/2017). (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Wisata Jogja mengenai sejarah Malioboro

Harianjogja.com, JOGJA — Siapa yang tidak tahu Malioboro? Kawasan ini selalu menjadi magnet bagi wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Sayangnya, tidak banyak masyarakat, bahkan wisatawan yang memahami sejarah di balik kawasan paling tersohor di Indonesia ini. Melalui kegiatan Malioberen yang digagas Komunitas Malamuseum, wisatawan diajak menjelajahi setiap sudut Malioboro dan mengulik sejarah yang ada di sepanjang kawasan ini.

Advertisement

Jogja tak pernah lepas dari Malioboro, Gudeg dan Tugu Jogja. Terutama Malioboro, sepanjang jalannya selalu memberi kenangan manis kepada siapapun yang pernah mengunjunginya. Malioboro terdiri dari jalan dan kawasan, di mana keduanya masih belum dipahami baik oleh wisatawan yang berkunjung.

Ada yang harus dipahami dulu di sini, yakni tentang Jalan Malioboro dan Kawasan Malioboro. Kalau Jalan Malioboro hanya dari selatan rel kereta api Stasiun Tugu, Hotel Inna Garuda sampai depan Batik Terang Bulan. Sedangkan, Jalan setelah Batik Terang Bulan adalah Jalan Ahmad Yani atau Jalan Margomulyo.

Advertisement

Ada yang harus dipahami dulu di sini, yakni tentang Jalan Malioboro dan Kawasan Malioboro. Kalau Jalan Malioboro hanya dari selatan rel kereta api Stasiun Tugu, Hotel Inna Garuda sampai depan Batik Terang Bulan. Sedangkan, Jalan setelah Batik Terang Bulan adalah Jalan Ahmad Yani atau Jalan Margomulyo.

“Lalu, Kawasan Malioboro adalah sepanjang Jalan Malioboro sampai Titik Nol Jogja atau depan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret,” ujar Nurmahmudah Fauziah, salah satu anggota Komunitas Malamuseum.

Selama ini, Jalan Malioboro hanya dikenal sebagai kawasan pelancong dan kawasan belanja. Menjadi rujukan bagi mereka yang yang ingin berburu oleh-oleh atau sekadar berfoto dengan papan bertuliskan Jl. Malioboro. Bahkan, kini setelah Malioboro bersolek, pedestrian di kawasan ini semakin ramai para pemburu foto.

Advertisement

“Kata Malioboro sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta, Maliabara, yang berarti jalan bertabur karangan bunga. Konon, dulu jalan ini penuh dengan karangan dan taburan bunga saat Kraton sedang menggelar acara,” ungkap Uzi, demikian mahasiswi Ilmu Sejarah UGM ini disapa.

Perjalanan mengulik Malioboro dimulai dari depan Plaza Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. Berbagai bangunan bergaya kolonial menjadi salah satu daya tarik khas dari kawasan ini. Di antaranya Kantor Perwakilan Bank Indonesia, Kantor Pos, Gedung Bank BNI, Benteng Vredeburg dan Gedung Agung.

Kantor Perwakilan Bank Indonesia atau yang juga dikenal dengan Gedung BI, dahulunya merupakan Kantor Cabang (KC) De Javasche Bank (DJB) Djokdjakarta. Arsitektur bangunan ini tampak kental dengan nuansa Eropa, begitupun dengan Kantor Pos yang kini masih tampak klasik dengan gaya arsitektur kolonial.

Advertisement

“Sedangkan Gedung BNI yang sekarang ini, dulu merupakan kantor perusahaan asuransi bernama Nederlandsch- Indische Levensverzekeringen en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ). Dulu para bangsawan Belanda yang ada di Jogja mengasuransikan kekayaannya di perusahaan ini,” jelas Erwin.

Selanjutnya, adalah Gedung Agung atau Istana Kepresidenan Yogyakarta yang dahulunya dibangun Belanda sebagai istana residen-residen Negeri Kincir Angin itu. Pembangunan gedung tersebut pernah terhenti ketika pecah Perang Jawa tahun 1825-1830, bahkan setelah pembangunannya rampung, gedung ini runtuh saat Jogja dilanda gempa besar tahun 1867.

Keberadaan Benteng Vredeburg menjadi bagian sejarah saat lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta seusai disepakatinya Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono I itu akhirnya mendirikan Kasultanan Ngayogyakarta.

Advertisement

Perkembangan pesat kerajaan yang didirikan Pangeran Mangkubumi itu membuat Belanda khawatir. Pemerintah Belanda akhirnya membujuk Sultan HB I untuk mendirikan sebuah benteng besar. Dalam pembangunan tersebut, Belanda merancang sebuah benteng yang menghadap ke Kraton Jogja.

Kendati di Indonesia melakukan praktik imperialisme dan kolonialisme, di negeri asalnya, Belanda pun menghadapi penjajahan yang dilakukan oleh Perancis. Belanda takluk ditangan Napoleon Bonaparte dan masuk sebagai salah satu negara di bawah kendali Kekaisaran Perancis.

Menyusuri pedestrian di depan Benteng Vredeburg ke utara, terdapat sebuah jam yang berada di persimpangan Jalan Margo Mulyo dan Jalan Reksobayan utara Gedung Agung. “Setelah [Belanda] terbebas dari jajahan Prancis. Belanda membangun sebuah jam, dan jam tersebut menjadi tugu peringatan bebasnya mereka dari jajahan Prancis,” jelas Erwin.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif