News
Sabtu, 21 Januari 2017 - 18:00 WIB

Keluarga Kho Ping Hoo Siap Hibahkan Koleksi Secara Sukarela

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Adik bungsu Kho Ping Hoo, Lina Setya Wati, 61, bercerita tentang kisah hidup kakaknya yang menjadi sastrawan cerita silat di kediamannya di Jl. Ahmad Yani No. 121, Cantel, Sragen, Jumat (20/1/2017). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Museum Kho Ping Hoo akan didirikan di Sragen.

Solopos.com, SRAGEN  — Keluarga sastrawan cerita silat Kho Ping Hoo siap menghibahkan barang-barang koleksi peninggalan Kho Ping Hoo secara sukarela. Hal itu diungkapkan menyusul rencana pendirian Museum Kho Ping Hoo oleh Pemerintah Kabupaten Sragen.

Advertisement

Adik bungsu Kho Ping Hoo, Kho Djoen Lien atau Lina Setya Wati, mengatakan tak memiliki koleksi kakaknya, kecuali dua lukisan kedua orang tuanya. Kini, lukisan itu dipajang di garasi rumah yang dibangun Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati untuk orang tua mereka.

Dulu, lukisan itu dipesan Kho Ping Hoo dan dipajang di ruang kerja Kho Ping Hoo. “Koh Ping [panggilan Kho Ping Hoo] sangat menghormati orang tuanya dan sering berbincang tentang dunia silat dengan Papa yang ahli silat,” tutur Lina di rumahnya di Jl. Ahmad Yani No. 121, Cantel, Sragen, Jumat (20/1/2017).

Advertisement

Dulu, lukisan itu dipesan Kho Ping Hoo dan dipajang di ruang kerja Kho Ping Hoo. “Koh Ping [panggilan Kho Ping Hoo] sangat menghormati orang tuanya dan sering berbincang tentang dunia silat dengan Papa yang ahli silat,” tutur Lina di rumahnya di Jl. Ahmad Yani No. 121, Cantel, Sragen, Jumat (20/1/2017).

Saat itu, Lina yang tengah berbicang dengan Kasi Sejarah dan Tradisi Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Sragen, Johny Adhi Aryawan,

Johny tertarik dengan sosok sastrawan Tionghoa, Kho Ping Hoo, yang lahir di Sragen, 17 Agustus 1926 silam. Aktivis Komunitas Sragen Kreatif Kultura (SKK) itu berencana mendirikan museum untuk memajang memorabilia Kho Ping Hoo di Sragen.

Advertisement

Lina menambahkan dirinya mendapat cerita tentang masa kecil Kho Ping Hoo dari orang tuanya, Kho Kien Poo.Kho Ping Hoo lahir di pengusian pada masa pergerakan Indonesia. Orang tuanya harus mengungsi dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Sragen dan menetap di Sragen.

“Saat masih balita, Koh Ping itu sempat cantengen [bengkak] pada 10 jarinya. Orang tua tidak tahu penyebabnya. Kami baru menyadari itu seperti pertanda awal kalau Koh Ping menjadi penulis cerita silat yang terkenal saat dewasa,” kata wanita kelahiran 16 Februari 1954 itu.

Ke-10 jari tangan itulah yang menjadi modal Kho Ping Hoo untuk membuat naskah cerita silat. Lina sempat bertanya kepada kakaknya dari mana ide cerita silat itu bisa muncul. Ia ingat jawaban Kho Ping Hoo, yakni mengalir saja dari gagasan spontanitas.

Advertisement

“Jadi Koh Ping itu tidak pernah membuat tulisan tangan tetapi langsung mengetik pada mesin ketik manual. Kalau sudah mengetik, saya tidak berani menganggunya karena konsentrasinya bisa buyar. Kong Ping mulai membuat cerita silat sejak di Tasik Malaya dan dilanjutkan di Solo,” kisah ibu tiga anak itu.

Museum Memorabilia

Lina pernah menanyakan arti nama Asmaraman Sukowati. Ia baru tahu saat itu kalau nama itu diambil dari istilah “Asma Samaran” jadi Asmaraman dan Sukowati itu nama lain dari Sragen. Setelah bercerita panjang lebar, Lina menyambut baik rencana pendirian museum memorabilia Kho Ping Hoo. Rencana itu sempat menjadi perbincangan di grup Whatsapp keluarga Kho Ping Hoo.

Advertisement

“Kami siap untuk menghibahkan barang-barang peninggalan Koh Ping secara sukarela asalkan tidak dikomersialkan. Kalau perlu Koh Ping itu dibuatkan patung dengan posisi saat mengetik itu malah bagus seperti di luar negeri. Untuk tempatnya saya usul di Museum Sangiran saja yang sudah ramai. Tapi kalau mau di kota [Sragen] ya silakan. Kami mendukung,” tutur dia.

Tanggapan Lina membuat Johny lega dan bersemangat. Lina juga menyinggung tentang keluarga Kho Ping Hoo. Dari 12 bersaudara, hanya tiga yang masih hidup, Lina salah satunya. Artis Desta yang juga aktor film Indonesia kelahiran Solo, 15 Maret 1977, adalah cucu Kho Ping Hoo dari anaknya yang nomor tiga. Beberapa cucu Kho Ping Hoo lainnya menjadi atlet Wushu dengan prestasi internasional.

Putra menantu Kho Ping Hoo di Solo, Bunawan Sastraguna Wibawa, pun tak keberatan dengan rencana pembangunan museum Kho Ping Hoo di Sragen. Ia memiliki banyak karya-karya Kho Ping Hoo yang diterbitkan CV Gema Solo sejak Kho Ping Hoo masih hidup.

Judul karya Kho Ping Hoo, sebut Bunawan, mencapai 160-an judul, baik cerita lepas maupun serial. Berdasarkan data di buku Kho Ping Hoo yang disusun para penulis, ada 141 judul karya Kho Ping Hoo.

“Cerita silat mandarin saja itu ada 130 judul. Satu judul ada banyak jilid, bahkan ada yang sampai 62 jilid per judul. Karya-karya itu kami masih punya. Kalau mesin ketik, mungkin ada anak Pak Kho Ping Hoo yang menyimpan, yakni di Tawangmangu atau di Balikpapan. Kalau meja kursi yang digunakan Pak Kho Ping Hoo ada,” ujar Bunawan yang juga pengelola CV Gema Solo.

Rencana pembuatan museum itu sudah menjadi perbincangan anggota keluarga Kho Ping Hoo. Bunawan sendiri tidak keberatan dengan rencana itu. Ia mengisahkan sekilas perjalanan Kho Ping Hoo. Ia menyampaikan masa kecil Kho Ping Hoo sampai usia 15 tahun berada di Sragen.

Kemudian Kho Ping Hoo remaja bekerja ke Surabaya, menikah hingga terjadi Agresi Militer Belanda pada 1949. Kho Ping Hoo pun pindah ke Tasik Malaya hingga 1963. Kho Ping Hoo kembali ke Solo hingga wafat pada 1994 lalu. Karyanya pertama diterbitkan CV Analisa Jakarta, kemudian PU Jelita Tasik Malaya, dan CV Gema Solo.

“Hingga kini karya Pak Kho Ping Hoo masih dicetak ulang. Dulu Bupati Sragen pernah memberi penghargaan dengan uang Rp500.000 tetapi sudah lama. PMS Solo juga pernah memberi penghargaan berupa patung gajah. Kemudian Presiden pernah memberi penghargaan juga. Semua itu bisa jadi koleksi untuk dipajang,” tambahnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif