Jogja
Rabu, 18 Januari 2017 - 14:20 WIB

Operasi Yustisi Butuh Biaya Rp6 Juta

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tiga pasangan muda yang ditangkap dalam razia rumah indekos Kamis (25/2/2016) berfoto selfi di Kantor Satpol PP Kota Madiun. (Abdul Jalil/JIBI/Madiunpos.com)

Operasi yustisi membutuhkan biaya Rp6 juta

Harianjogja.com, JOGJA – Pemda DIY menganggarkan Rp400 juta melalui kuasa pengguna anggaran (KPA) Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DIY untuk biaya razia penyakit masyarakat (pekat) selama 2017. Operasi yustisi butuh biaya lebih besar ketimbang non yustisi.

Advertisement

Kabid Penegakan Perda Satpol PP DIY Suhartini menjelaskan, anggaraan razia pekat selama 2017 sekitar Rp400 juta. Nominal itu akan digunakan untuk operasi yustisi sebanyak 25 kali dan non yustisi 25 kali di seluruh wilayah DIY.

Besaran itu memang tidak ada selisih yang signifikan dibanding tahun sebelumnya, meski ia mengakui memang terjadi efisiensi anggaran. “Tahun lalu besaran sekitar itu, kalau ditotal tahun sekitar 50 kali razia baik yustisi dan non yustisi,” terangnya seusai rapat di DPRD DIY, Selasa (17/1/2017).

Advertisement

Besaran itu memang tidak ada selisih yang signifikan dibanding tahun sebelumnya, meski ia mengakui memang terjadi efisiensi anggaran. “Tahun lalu besaran sekitar itu, kalau ditotal tahun sekitar 50 kali razia baik yustisi dan non yustisi,” terangnya seusai rapat di DPRD DIY, Selasa (17/1/2017).

Ia menambahkan, biaya operasi yustisi lebih besar dibandingkan non yustisi. Setiap kali operasi yustisi, setidaknya butuh dana sekitar Rp6 juta untuk satu kali razia. Berbeda dengan non yustisi, seperti menertibkan baliho maka hanya butuh operasional kendaraan dan petugas.

Akantetapi, untuk yustisi, pihaknya harus membiayai segala proses penegakan hukum itu di pengadilan sebagai. Mulai dari membiayai saksi untuk hadir di pengadilan, mengajukan barangbukti ke laboratorium dan berbagai proses administrasi di pengadilan.

Advertisement

Miras dan prostitusi, lanjutnya, menjadi salahsatu target operasi yustisi. Sejak 2016, prostitusi dimasukkan dalam target operasi yustisi sehingga harus disidangkan di pengadilan.

Berbeda dengan tahun sebelum itu, kata dia, seringkali hanya dilakukan pembinaan sehingga tidak sampai ke pengadilan. Selama 2016, pihaknya telah menjaring 69 orang yang terlibat praktek prostitusi.

Sedangkan, pada 2017, telah menjaring 14 orang terlibat praktek prostitusi. Menurutnya, dari puluhan orang terlibat prostitusi itu didominasi oleh pendatang alias bukan warga DIY dengan usia di bawah 30 tahun. Profesi mereka pun bermacam, mulai dari pekerja salon hingga pemandu di tempat karaoke.

Advertisement

“Pengalaman di kami, saya masuk belum pernah [prostitusi] dimasukkan yustisi. Àwal 2016 kami melakukan. Pertama di kota waktu itu targetnya penertiban prostitusi di Giwangan. Satu tempat ada enam sampai tujuh orang, lalu disidangkan,” ungkap dia.

Sayangnya belum ada aturan terbaru di DIY terkait prostitusi. Sehingga penegakan yang ia lakukan masih menggunakan Perda DIY No.18/1954 tentang larangan pelacuran di tempat umum. Dalam aturan itu masih tertuang denda setelah vonis di pengadilan Rp100.

Namun saat ini besaran itu telah dikonversi menjadi Rp750.000 menyesuaikan nilai rupiah melalui payung hukum Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.02/2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana tingan dan jumlah denda dalam KUHP.

Advertisement

Beberapa hakim telah memberikan vonis denda Rp750.000 berkali-kali di PN Bantul, begitu juga yang dilakukan di Sleman. “Bantul itu sudah beberapa kali menjatuhkan denda Rp750.000,” kata dia.

Suhartini mengatakan, selain mengajukan para pelaku prostitusi ke pengadilan, ia juga seringkali memberikan efek jera kepada mereka dengan mewajibkan pelaku untuk menginap semalam di Kantor Satpol PP DIY.

Faktanya, dalam setiap melakukan kewajiban itu mereka sebagian besar ingin pulang ke rumah. Melalui cara itu, ia berharap mereka tidak mengulangi lagi perbuatan itu. Pihaknya selalu mengajukan praktik itu ke pengadilan dan tidak memberikan toleransi.

“Kalau saya beri toleransi pada satu [pelaku], semua akan minta, saya repot, sehingga selalu saya ajukan ke pengadilan,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif