Soloraya
Kamis, 12 Januari 2017 - 17:40 WIB

PENDIDIKAN SRAGEN : Dipermalukan Guru di Kelas, Siswi SMP Emoh Sekolah

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Joko Purwanto, 37, ayah dari AK, 13, menunjukkan surat edaran terkait permohonan sumbangan dana untuk program Sekolah Adiwiyata di SMPN 1 Masaran. Foto diambil di rumah orang tua Joko di Masaran, Kamis (12/1/2017). (Moh. Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Pendidikan Sragen, siswi SMP di Masaran menolak berangkat sekolah setelah dipermalukan gurunya.

Solopos.com, SRAGEN — AK, 13, siswi Kelas VII SMPN 1 Masaran, Sragen, menolak masuk sekolah setelah sempat dipermalukan gurunya di hadapan teman-teman sekelasnya pada Rabu (11/1/2017).

Advertisement

Warga Ngepringan, Jenar, yang tinggal bersama kakeknya di Masaran itu enggan bersekolah karena tak kuat menanggung malu. Kisah itu bermula ketika AK menerima surat edaran dari Komite Sekolah saat mengambil rapor pada Desember 2016 lalu.

Dalam surat itu disebutkan SMPN 1 Masaran ditunjuk menjadi salah satu Sekolah Adiwiyata 2017. Guna menunjang program itu, Komite Sekolah membutuhkan dana total senilai Rp71,8 juga. Dana tersebut rencananya untuk membangun 14 kamar mandi, pengadaan empat unit bank sampah, pengadaan 24 tempat sampah, perbaikan empat kantin, pembelian tanaman hias dan lain-lain.

Dalam surat itu juga disebutkan besaran sumbangan yang harus ditanggung siswa senilai Rp277.000. “Pada Sabtu [7/1/2017], saya datang ke sekolah untuk membayar sumbangan itu. Saya ditemui beberapa guru. Saat itu, saya minta kuitansi sebagai bukti pembayaran. Akan tetapi, saya tidak dikasih kuitansi itu dengan alasan mereka hanya diminta tolong komite untuk mengumpulkan uang tanpa diberi kuitansi. Karena tidak dikasih kuitansi, saya urung membayar sumbangan itu. Saat itu, anak saya yang sedang belajar di kelas malah dipanggil menghadap guru itu,” terang Joko Purwanto, 37, ayah AK saat ditemui Solopos.com di rumah orang tuanya di Masaran, Kamis (12/1/2017).

Advertisement

Pada Rabu, seorang guru perempuan pengampu mata pelajaran Pendidikan Basa Jawa mengisi kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas AK. Saat itu, guru tersebut meminta para siswa menyetorkan sumbangan dana tersebut.

AK tidak bisa menyetor sumbangan itu karena dia tahu ayahnya belum bersedia membayar sumbangan tanpa ada kuitansi. “Saat itu ibu guru itu bilang, ‘di kelas ini ada siswa yang tidak mau bayar iuran. Orang tuanya sampai datang ke sekolah. Kalau saya jadi dia, saya tentu malu masih bersekolah di sini’,” ujar AK menirukan sindiran guru tersebut.

Mendengar perkataan itu, AK hanya terdiam. Dia sadar siswa yang dimaksud adalah dirinya. Teman-teman dia juga sudah tahu hal itu. Dia tidak bisa menutupi rasa malu itu di hadapan teman-temannya.

Advertisement

Saat pulang sekolah, air matanya tumpah. “Saya kaget waktu melihat anak saya menangis tersedu-sedu sepulang sekolah. Perkataan guru itu mengisyaratkan anak saya tidak pantas sekolah di sana. Itu sama saja meminta anak saya keluar dari sekolah. Sekarang, anak saya sudah telanjur malu untuk sekolah lagi. Saya sudah bujuk dia untuk bersekolah, tetapi dia tidak mau,” papar Joko.

Menanggapi hal itu, Kepala SMPN 1 Masaran Ramelan membenarkan SMPN 1 Masaran ditunjuk sebagai salah satu Sekolah Adiwiyata pada 2017. Jika tidak ada program itu, komite sekolah juga tidak akan meminta sumbangan kepada orang tua siswa.

“Program ini sudah disosialisasikan kepada orang tua siswa saat pembagian rapor. Besarnya sumbangan itu tidak harus Rp277.000, melainkan disesuaikan dengan kemampuan. Ada yang memberi Rp50.000, ada pula Rp100.000 karena kemampuannya segitu. Itu tetap kami terima,” papar Ramelan saat ditemui Solopos.com di kantornya.

Ramelan meminta maaf kepada AK dan orang tuanya atas perlakuan kurang mengenakkan dari salah satu guru. “Kami meminta maaf. Hal itu tentu di luar instruksi saya sebagai kepala sekolah. Ini menjadi bahan introspeksi kami supaya ke depan tidak terulang,” kata Ramelan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif