Soloraya
Minggu, 20 November 2016 - 11:15 WIB

PILKADES SRAGEN : Taruhan Botoh di 2 Desa Tembus Rp1 Miliar

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pemberian suara pemilihan umum (JIBI/Solopos/Antara/Dok.)

Pilkades Sragen, ada dua desa yang jadi sasaran botoh dengan nilai taruhan cukup fantastis.

Solopos.com, SRAGEN — Dua desa dari 19 desa yang menggelar pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di Bumi Sukowati menjadi objek taruhan para botoh lokal dan botoh dari luar Sragen dengan peredaran uang taruhan tembus Rp1 miliar.

Advertisement

Dua desa yang menjadi ajang permainan botoh itu yakni Desa Plumbon di Kecamatan Sambungmacan dan Desa Jambanan di Kecamatan Sidoharjo. Desa Plumbon memiliki tiga calon kepala desa (cakades) sementara Desa Jambanan memiliki dua cakades. Baca juga: Botoh Bisa Mainkan Suara Pemilih, Cakades Waspada

Taruhan botoh di dua desa itu diungkapkan salah seorang botoh lokal, HR, 43, saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Sabtu (19/11/2016) siang. HR menekuni dunia botoh pilkades maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak masih sekolah sekitar 20 tahun lalu.

Advertisement

Taruhan botoh di dua desa itu diungkapkan salah seorang botoh lokal, HR, 43, saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Sabtu (19/11/2016) siang. HR menekuni dunia botoh pilkades maupun pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak masih sekolah sekitar 20 tahun lalu.

Dia menyebut tipologi botoh pilkades menjadi dua, yakni botoh dengan kepentingan murni judi dan botoh sebagai bagian dari tim sukses cakades. Berdasarkan asal daerah, botoh dibagi menjadi botoh dari luar Sragen dan botoh lokal Sragen.

“Pada pilkades kali ini tidak ada yang meminta tolong saya. Jadi saya bermain di pilkades murni untuk mencari uang. Jujur saya bermain di Desa Plumbon. Saya masuk ke Plumbon dengan survei sejak tiga bulan lalu. Saya memiliki tim survei sendiri secara riil dengan datang langsung secara door to door. Hal survei itu nantinya menjadi dasar perhitungan botoh,” ujarnya.

Advertisement

“Uang taruhan yang masuk ke saya saja Rp90 juta. Belum lagi yang masuk ke botoh lain, seperti dari Ngawi, Madiun, Purwodadi. Semakin mendekati hari H, nilai taruhannya semakin besar. Kalau Rp300 juta per orang itu bagi saya biasa saja. Total peredaran uang taruhan itu bisa tembus di atas Rp1 miliar per desa,” ujar dia.

Selain di Plumbon, HR menempatkan orang-orangnya di Desa Jambanan, Kecamatan Sidoharjo, dan Desa Denanyar, Kecamatan Tangen. Dia tidak mengetahui konstelasi politik di dua desa itu karena tidak terjun langsung.

Namun, dia mengetahui siapa saja yang bermain di dua desa itu. Dari 19 desa yang menggelar pilkades, hanya Plumbon dan Jambanan yang paling ramai dengan permainan botoh.

Advertisement

Perputaran uang taruhan di Desa Jambanan, kata HR, tak sebanyak di Desa Plumbon. Namun, perputaran uang taruhan di Jambanan itu lebih banyak bila dibandingkan 17 desa lainnya yang menggelar pilkades serentak.

“Dua desa itu [Plumbon dan Jambanan] pula yang paling panas pertarungannya karena botoh ikut bermain. Botoh bisa melakukan apa pun untuk menang. Saya misalnya, agar menang, saya bisa saja melempar uang Rp50 juta tetapi saya bisa untung Rp40 juta. Jadi siapa pun calonnya yang menang itu tergantung permainan botoh. Botoh itu mau meletakkan kartu jokernya di mana itulah yang menang,” tambah dia.

Model taruhannya, kata HR, bervariasi mulai dari glek-glekan, pur 100 suara, pur 250 suara, dan seterusnya. Botoh-botoh luar yang datang ke Sragen  karena ada undangan antarbotoh.

Advertisement

“Banyak botoh yang bertanya ke saya tentang desa mana yang ramai. Hla botoh-botoh luar Sragen itu kalau ngumpul ya di rumah saya ini. Tetapi waktunya tidak pasti,” tuturnya.

Pengamat politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, mengatakan botoh menjadi tradisi dalam pesta demokrasi pedesaan. Agus menyampaikan untuk memotong mata rantai botoh itu sangat sulit karena menjadi kultur di masyarakat.

Judi kecil-kecil pun, ujar dia, bisa merembet ke wilayah politik. “Kuncinya saya kira terletak pada para tokoh berpengaruh di pedesaan. Para agamawan, tokoh adat, dan tokoh lain yang memiliki konstituen yang mampu mengubah kultur itu secara bertahap. Tokoh yang dipercaya masyarakat itulah yang bisa menjadi corong perubahan kultur masyarakat,” tambah dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif