News
Minggu, 20 November 2016 - 15:32 WIB

Ini Perlawanan Negara Asia-Pasifik Jika Donald Trump Tinggalkan TPP

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Donald Trump (Reuters)

Donald Trump berpotensi membawa AS meninggalkan TPP. Negara Asia-Pasifik pun bisa melakukan beberapa opsi untuk melawan proteksionisme AS.

Solopos.com, LIMA — Kerja Sama Trans Pasifik atau nasib Trans Pacific Partnership (TPP) yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) di ujung tanduk. Hal ini mendorong munculnya ide baru pembentukan kongsi perdagangan bebas negara-negara Asia Pasifik dan Aliansi Pasifik dengan kesepakatan yang lebih tradisional.

Advertisement

Bahkan, penguatan kerja sama negara-negara di luar AS dipertimbangkan menjadi opsi utama untuk menangkal kebijakan proteksionis perdagangan Negeri Paman Sam. Hal ini diperlukan jika Presiden terpilih AS Donald J. Trump benar-benar merealisasikan komitmen kampanye untuk menjalankan sistem ekonomi yang lebih proteksionis.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyampaikan negara-negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang didominasi negara Asia dan aliansi Pasifik bisa membentuk kesepakatan yang lebih baik dibandingkan TPP yang dikuasai negara maju.

Advertisement

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyampaikan negara-negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang didominasi negara Asia dan aliansi Pasifik bisa membentuk kesepakatan yang lebih baik dibandingkan TPP yang dikuasai negara maju.

Aliansi Pasifik adalah inisiatif integrasi kawasan Amerika Tengah dan Selatan yang beranggotakan Chile, Kolombia, Meksiko, dan Peru sejak 2011 lalu. Organisasi regional ini bertujuan mendorong pergerakan bebas di sektor barang, jasa, sumber daya alam, maupun sumber daya manusia.

“Saya mewakili Indonesia menyampaikan kalau memang TPP tidak jadi, kenapa di antara APEC saja dan Pacific Alliance tidak membangun hubungan yang lebih baik dari TPP?” ujarnya seusai menghadiri pembukaan APEC Business Advisory Council (ABAC) di Lima, Peru, Sabtu (19/11/2016) waktu setempat.

Advertisement

Pascakemenangan Donald J. Trump sebagai Presiden terpilih AS, nasib TPP berada di tepi jurang kegagalan. Dalam kampanyenya, Trump mengaku menolak keras TPP dan North American Free Trade Agreement (NAFTA) karena dianggap membahayakan sektor tenaga kerja AS.

Hal itu jauh berbeda dari pemikiran pendahulunya, Barack Obama, yang sebelumnya menilai TPP dibutuhkan guna melawan dominasi China, sebagai negara ekonomi raksasa kedua di dunia. Kendati demikian, negara-negara anggota TPP seperti Meksiko, Jepang, Australia, Malaysia, Selandia Baru, dan Singapura, seusai pertemuan dalam rangkaian Forum APEC, mengaku akan tetap jalan terus dengan atau tanpa AS.

Di tengah ketidakpastian nasib TPP, China cekatan untuk berupaya kembali menjadi sorotan internasional. Negeri Tirai Bambu terlihat ulung mengambil posisi dengan mempromosikan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Resional (RCEP) didukung para kolega Australia, India, dan negara Asia lain.

Advertisement

Presiden China Xi Jinping berkomitmen membuka bentuk kerja sama ekonomi yang lebih luas di tengah kelimbungan negara-negara Asia Pasifik mencari opsi perdagangan bebas baru.

Wapres Kalla menilai sebenarnya Indonesia diuntungkan jika TPP batal terlaksana. Pasalnya, selama inipun Indonesia mempertimbangkan menjadi keanggotaannya hanya karena khawatir kalah bersaing dengan negara-negara Asia seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam yang sudah lebih dulu bergabung dalam kesepakatan Trans Pasifik tersebut.

Pemerintah bahkan mensinyalkan segera bergabung dalam RCEP guna memperkuat barisan menghadapi proteksionisme AS. Sejumlah alternatif kesepakatan dagang dibicarakan, meski baru dalam tahap lobi jika memang proteksi terjadi. “Kalau tidak jadi, maka kita bisa lebih memperkuat ASEAN dan kesepakatan komprehensif dengan China, India, Jepang, dan Korea,” tegasnya.

Advertisement

Tak peduli yang terjadi dengan AS atau China, Wapres menyarankan setiap negara untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam negeri masing-masing demi menyelamatkan dalam skala global. Para pemangku kepentingan nasional harus berupaya meningkatkan produktifitas dan konsumsi dalam negeri.

Salah satu upaya meningkatkan produktifitas di seluruh negara ialah pengembangan usaha kecil mikro (UKM) didukung teknologi informasi. Hal itu juga menjadi tema besar APEC 2016.

Bagi Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi keunggulan tersendiri sebagai kekuatan konsumsi domestik dan pasar yang luas. Di sisi lain, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mumpuni diharapkan menjadi kekuatan besar yang mampu mendongkrak produktivitas nasional.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif