Jogja
Jumat, 11 November 2016 - 13:34 WIB

HARI PAHLAWAN : Mbah Harjo, Potret Masa Tua Sang Serdadu Tangguh

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mbah Harjo saat bercengkerama bersama Bripka Winardi, Kamis (10/11/2016) di kediamannya di kawasan Dusun Kadirojo, Desa Palbpang, Kecamatan Bantu. (Harian Jogja/Arief Junianto)

Hari pahlawan menjadi momentum untuk mengenang perjuangan para pejuang

Harianjogja.com, BANTUL- Kamis (10/11/2016) siang, ketika semua orang tengah khidmat memperingati Hari Pahlawan, salah satu anggota Babinkamtibmas Polsek Bantul Bripka Winardi tengah sibuk dengan setumpuk makanan.

Advertisement

Setibanya di salah satu rumah sederhana yang berada di sudut kampung Dukuh Kadirojo, Desa Palbapang, Kecamatan Bantul, ia berikan makanan itu. Makanan itu sengaja diberikannya kepada salah satu pejuang veteran yang kini hidup di tengah keterbatasan.

“Soekarno itu pancen ngaten [Soekarno itu memang begini],” kata Mbah Harjo sambil mengacungkan jempolnya saat kami tanya tentang satu dari tiga potret usang yang ada di pangkuannya.

Advertisement

“Soekarno itu pancen ngaten [Soekarno itu memang begini],” kata Mbah Harjo sambil mengacungkan jempolnya saat kami tanya tentang satu dari tiga potret usang yang ada di pangkuannya.

Suara tuanya tak begitu jelas terdengar. Bahasanya pun sudah kian sulit dipahami. Terlebih kami yang harus berkomunikasi dengannya, harus dengan sabar mendekatkan bibir ke daun telinganya.

Harjo Yuswito, nama lengkap kakek berusia 96 tahun itu, masih semangat menjalani sisa usianya. Di samping ranjang dengan kasur tipis, ia duduk sambil memegang tiga buah potret kebanggaannya.

Advertisement

Di rumah sederhana berukuran 30 meter persegi yang kini ditinggalinya bersama anak, menantu, dan cucu-cucunya itu, Mbah Harjo masih gemar mengenang masa kejayaannya ketika muda.

Suara tembakan, dentum meriam, teriakan penuh semangat hingga rintih orang sekarat, masih membekas jelas di ingatannya. Dengan lancar ia menjelaskan setiap detail perjalanan hidupnya, terutama ketika ia hidup di tengah ancaman bahaya amunisi Jepang dan Belanda.

Sekian panjang ceritanya, nyaris memang selalu berujung pada kebanggaanya pada Soekarno, Sang Presiden Pertama. Baginya, Soekarno bukan saja seorang presiden.

Advertisement

Lebih dari itu Soekarno baginya adalah seorang panutan. “Saya itu paham betul riwayat beliau. Beliau sangat dekat dengan para serdadu macam saya.”

Dari kisahnya, semasa muda, sudah barang tentu Mbah Harjo adalah serdadu tangguh. Sudah tak terhitung berapa tentara Belanda jadi sasaran peluru senapan karabennya.

Berbekal kemampuan bertempur yang diperolehnya semasa digembleng di Heiho, ia menjelma menjadi serdadu licin sekaligus pantang mundur saat berhadapan dengan para penjajah negeri.

Advertisement

Luka di belakang telinga adalah buktinya. Luka itu ia peroleh ketika terkena amunisi Belanda saat bertempur di Gedung Negara, ketika meletusya Agresi Militer Belanda II. “Tapi saya tidak apa-apa. Saya terus saja bertempur,” kenang Mbah Harjo.

Semua cerita itu kini hanya menjadi segepok kisah yang sangat dibanggakannya. Setidaknya, semangat medan laga itu masih memercik hingga kini di masa tuanya. “Saya itu sampai heran, sudah setua itu Bapak kok ya masih bergas. Sukanya bersih-bersih,” celetuk Sukatmi, sulung Mbah Harjo.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif