Jogja
Sabtu, 5 November 2016 - 16:20 WIB

Temannya Dilantik Jadi Lurah, Slamet Penuhi Nazar Jalan Kaki 2 Jam ke Rumah

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Slamet Raharjo berjlan dari Pendopo Parasamya Bantul, Sabtu (5/11/2016). (Arief Junianto/JIBI/Harian Jogja)

Pelantikan kepala desa di Bantul diwarnai kejadian unik pendukung lurah yang jalan kaki ke rumah

Harianjogja.com, BANTUL– Ada-ada saja ulah para pendukung calon lurah di Bantul. Slamet Raharjo misalnya. Pasca pilihannya menang dan dilantik secara resmi oleh Bupati, ia menepati nazar yang diucapkannya saat masa penghitungan suara dulu.

Advertisement

Wajah keriputnya tampak mengkilat oleh keringat. Suaranya pun tersengal. Namun sembari menjawab pertanyaan kami, bibir tuanya masih menyunggingkan senyum. “Ya panas, Mas. Tapi ini sudah jadi nazar saya,” kata simbah berumur 60 tahun itu sambil terus mantap melangkah.

Sabtu (5/11/2016) siang, terik semakin terasa. Tapi kaki tua Mbah Slamet yang terbungkus selop kulit berwarna hituam terus melangkah. Beberapa bercak basah keringat mulai tampak di kerah dan lengan surjannya.

Begitu pula dengan blangkon yang ia kenakan, keringat sudah tampak lebih dulu membasahi ujung lipitan yang bersentuhan langsung dengan kulit kening tuanya. Sedang dua orang laki-laki, sembari mengendarai sepeda motor dengan kecepatan lamban, mengikuti di belakangnya. Mereka sengaja ditugaskan oleh Pardiyono, Lurah terpilih Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak yang menjadi subjek nazar dari Mbah Slamet.

Advertisement

Memang, nazar itu bukan tanpa alasan diucapkan oleh Mbah Slamet. Hubungan antara dia dan Pardiyono bukan hubungan yang seumur jagung. Keduanya sudah bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP. “Kami satu sekolah saat SMP hingga SMA. SMPnya di SMP 1 Bantul, sedangkan SMAnya di SMA 1 Bantul,” katanya spontan.

Sambil terus berjalan, ia menceritakan perihal kedekatannya dengan Pak Lurah. Kedekatannya dengan Pak Lurah memang lantaran keduanya yang berasal dari Desa yang sama, sekolah di pusat kota. Berasal dari satu desa yang sama, membuat kedekatannya kian rekat saat berada di sekolah. Sejak itulah persahabatan keduanya semakin kental saja.

Bahkan, hingga kini ketika keduanya sudah sama-sama berumur, persahabatan itu seolah tak pernah luntur. Hanya saja, cara bergaul keduanya sudah tak sama seperti masa muda dahulu. Kini, obrolan mereka lebih pada kehidupan dan ibadah. “Kalau dulu masih muda, ya seperti anak-anak muda pada umumnya. Ngomongin ini lah itu lah,” ucapnya sambil tersengal-sengal.

Advertisement

Selang sekitar 2 jam, Mbah Slamet tiba di kediaman Pardiyono di Dusun Jodog, Desa Gilangharjo. Wajah Mbah Slamet tampak memerah padam. Terik matahari yang nyaris berada di atas kepala benar-benar membakar kulit keriput kakek satu cucu itu. Keringatnya terus mengucur.

Tak banyak yang diucapkannya. Hanya tersenyum. Mbah Slamet hanya tersenyum kepada tiap orang yang menyalaminya. “Maaf lama. Tadi sempat istirahat beberapa kali,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif