News
Sabtu, 29 Oktober 2016 - 08:00 WIB

Akumulasi Utang & Bunga Sejak 1998 Menggelembung Jadi Rp3.444 Triliun

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi proyek pembangunan jalan tol. (Nurul Hidayat/JIBI/Bisnis)

Ekonomi Indonesia masih terhambat akumulasi utang dan bunga sejak 1998 yang kini menggelembung hingga Rp3.444 triliun.

Solopos.com, JAKARTA — Akumulasi utang beserta bunga utang pemerintah terus menjadi momok yang menggerus anggaran dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi secara bergulir di masa mendatang.

Advertisement

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan krisis moneter 1998 dan pembengkakan subsidi energi pada pemerintahan sebelumnya menyebabkan akumulasi utang dan bunga utang menggelembung hingga Rp3.444 triliun sampai saat ini.

Kewajiban utang yang harus dibayar setiap tahun tentu menggerus anggaran negara. Akibatnya, alokasi belanja modal dan belanja barang minim dan tak mampu menggerakkan pembangunan serta pertumbuhan ekonomi secara signifikan.

Pertumbuhan ekonomi yang tak kencang bisa menyebabkan penerimaan negara dari sektor riil menyusut, misalnya pajak dan ekspor. Hal itu kembali bergulir pada periode anggaran selanjutnya dan terus menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.

Advertisement

“Akibatnya mengurangi anggaran belanja modal dan belanja barang yang penting, itu efek dan beban yang akan datang,” ujarnya di Kantor Wakil Presiden, Jumat (28/10/2016).

Kendati terus menumpuk, utang pemerintah dinilai masih di level terkendali dibandingkan porsi utang negara maju, yakni berada di bawah 30% terhadap produk domestik bruto (PDB). Berbeda dengan porsi utang Amerika Serikat atau Jepang yang mencapai dua kali lipat dari PDB, bahkan persentase utang China melebihi 250% terhadap PDB.

Dalam pernyataan sebelumnya, Wapres Kalla menyebutkan pemerintah harus menyisihkan dana sekitar Rp500 triliun atau 20% lebih dari total anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) 2017 hanya untuk mengangsur utang beserta bunganya.

Advertisement

Dia mengaku, ruang fiskal yang tersedia sangat sempit untuk menopang pembangunan. Maka itu, solusi paling efektif ialah mendorong investasi dari sektor swasta serta meningkatkan konsumsi masyarakat.

Tak hanya itu, solusi juga bisa berasal dari penghematan. Para kepala daerah diperintahkan untuk mengurangi biaya internal birokrasi dan lebih memprioritaskan subsidi untuk masyarakat, seperti biaya kesehatan, pendidikan, dan sosial. “Di satu sisi subsidi masyarakat memang mengurangi anggaran untuk pembangunan, tapi juga menjadi bagian menutup gap dan menjaga keadilan,” tuturnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total belanja negara pada APBN 2017 tercatat mencapai Rp2.080,5 triliun. Jumlah itu terdiri dari, belanja pemerintah pusat Rp1.315,5 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa Rp764,9 triliun.

Di sisi lain, pendapatan negara ditargetkan sebesar Rp1.750,3 triliun, terdiri dari penerimaan dalam negeri Rp1.748,9 triliun dan penerimaan hibah Rp1,37 triliun. Dari pos pembiayaan, total pembiayaan utang tercatat Rp384,7 triliun, pembiayaan investasi Rp47,5 triliun, pemberian pinjaman Rp6,4 triliun, kewajiban penjaminan Rp900 miliar, dan pembiayaan lainnya Rp300 miliar. Total, pembiayaan anggaran Rp330,2 triliun dengan persentase defisit anggaran sebesar 2,41%.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif