Soloraya
Rabu, 5 Oktober 2016 - 23:30 WIB

BANJIR SOLO : Ini Penjelasan Pakar tentang Genangan di Soloraya

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga Colomadu, Karanganyar, bersama istri tercinta, memanggul sepeda onthel saat melintas di UMS, Selasa (4/10/2016) malam. (Iskandar/JIBI/Solopos)

Banjir Solo, menurut pakar hidrologi, banyaknya genangan di Solo dikarenakan tanah sudah jenuh air.

Solopos.com, SOLO — Pakar hidrologi dari Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) Surakarta, Irfan B. Pramono, menjelaskan hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur Soloraya pada awal musim kemarau basah atau awal musim penghujan ini membuat tanah sudah jenuh air sehingga inflitrasi atau penyerapan tidak optimal.

Advertisement

Hal ini membuat air hujan tidak terserap maksimal dan memunculkan genangan. “Kalau dilihat selama lima hari terakhir turun hujan, koefisien aliran permukaan tanah sudah lebih dari 60% [maksimal hanya 40% air di permukaan yang terserap kembali ke tanah]. Dalam kondisi ini, hujan kecil saja permukaan tanah sudah tidak menyerap air lagi. Idealnya di angka 20%,” terang dia saat berbincang dengan Solopos.com, Rabu (5/10/2016.

Lebih lanjut, dia menjelaskan saat ini Jateng masih memasuki awal musim penghujan. “Masyarakat harus lebih waspada lagi menghadapi bencana banjir dan tanah longsor. Puncak musim hujan belum terjadi. Jika di awal kondisinya sudah seperti ini, semua pihak harus ekstra antisipasi. Ini early warning,” ujar dia.

Irfan menyebutkan salah satu solusi banjir di Soloraya membutuhkan penanganan di hulu. Wilayah Solo yang berupa cekungan berpeluang menerima air limpasan dari Gunung Lawu, Pegunungan  Seribu yang berbatasan dengan Gunung Kidul, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu.

Advertisement

“Melihat banjir kiriman dari Boyolali tempo hari dengan debit air yang cukup banyak dan aliran deras menandakan tangkapan air di wilayah hulu kritis. Kemampuan hutan di Merapi maupun Merbabu untuk menangkap air semakin minim. Khusus Merapi, kondisi wilayahnya juga berubah pascaerupsi. Tanahnya semakin minim digantikan pasir sehingga pohon sebagai pengikat air sulit tumbuh,” urai dia.

Irfan menambahkan penanggulangan masalah ini bisa dilakukan dengan pembuatan rorak (jebakan air untuk menahan air) berdiameter minimal satu meter di hutan-hutan yang tersisa di lereng Merapi maupun Merbabu.

Selain itu, tegalan yang ditanami warga di lereng Merapi maupun Merbabu disarankan diganti dengan penghijauan dengan sistem agroforestri (penanaman yang mengombinasikan tanaman hutan dengan tanaman pertanian). Dari uji coba yang dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Keduang, sistem agroforestri efektif menurunkan risiko banjir di hilir hingga 36%.

Advertisement

“Kami sarankan warga untuk mengganti pertanian dengan sengon, kopi, petai, dan buah-buahan,” papar dia.

Tak hanya penanganan di hulu, Irfan menyebut penanganan di hilir juga bisa dilakukan dengan optimalisasi sungai dan anak sungai yang mengalir di Soloraya. Selain itu, penataan drainase juga harus dibenahi untuk meminimalkan banjir lokal atau genangan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif