News
Rabu, 28 September 2016 - 14:00 WIB

Ketua PGRI Solo Raih Gelar Doktor Ilmu Hukum di UNS

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua PGRI Solo, Sugiaryo, saat menjabarkan disertasinya dalam ujian Doktor Ilmu Hukum yang digelar di Kampus UNS, Rabu (28/9/2016). (Septhia Ryanthie/JIBI/Solopos)

Gelar Doktor Bidang Hukum diraih Ketua PGRI Solo, Sugiaryo.

Solopos.com, SOLO – Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Solo, Sugiaryo, meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Rabu (28/9). Dosen di Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo tersebut berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Politik Hukum Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam Negara Hukum yang Demokratis Dilihat dari Perspektif Gender di hadapan Tim Penguji yang diketuai Furqon Hidayatullah.

Advertisement

Dalam disertasinya tersebut, Sugiaryo melakukan penelitian seputar pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang sempat terjadi beberapa waktu lalu. Dalam prosesnya, timbul polemik Sabda Raja dan Dawuh Raja dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tersebut.

Hal itu berkaitan dengan peluang GKR Pembayun yang telah dinobatkan menjadi GKR Mangkubumi sebagai pewaris tahta Kasultanan yang pada gilirannya menjadi Gubernur DIY, dikarenakan adanya dua pandangan yang berbeda.

Advertisement

Hal itu berkaitan dengan peluang GKR Pembayun yang telah dinobatkan menjadi GKR Mangkubumi sebagai pewaris tahta Kasultanan yang pada gilirannya menjadi Gubernur DIY, dikarenakan adanya dua pandangan yang berbeda.

Sugiaryo menjabarkan, ada dua pandangan berbeda saat itu, yaitu pertama, pandangan konservatif yang menginginkan bahwa Sultan dan Gubernur DIY harus dijabat oleh laki-laki. Hal ini sesuai paugeran, adat istiadat dan budaya yang selama ini dipertahankan oleh masyarakat Jogja. Pandangan kedua, adalah pandangan modern yang menghendaki adanya kesetaraan gender, bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hal yang sama.

“Hal ini karena sejalan dengan prinsip-prinsip umum hak asasi manusia, hukum responsif dan hukum progresif,” paparnya, Rabu.

Advertisement

Dengan keluarnya Undang-undang Keistimewaan (UUK) DIY No. 13/2012 dan Perdais No. 1/2013 telah menghentikan pro dan kontra tersebut karena dalam UU secara tegas menyebutkan bahwa pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui mekanisme penetapan.

Namun menurut hasil penelitiannya, Sugiaryo menyatakan, UUK DIY No. 13/2012 tersebut tidak mencerminkan kesetaraan gender, sehingga dapat menimbulkan ketidakadilan gender. Menurutnya, hal itu bisa berpotensi terhadap adanya gugatan judicial review (JR) di Mahkamah Konstitusi oleh kaum feminis terhadap substansi UUK DIY tersebut dan reformulasi UUK DIY oleh pemerintah pusat dan DPR.

Dalam rangka mewujudkan keistimewaan, Sugiaryo menyarankan kepada masyarakat agar dalam memahami hukum jangan hanya berdasarkan pada azas yang tercantum dalam peraturan hukum (tekstual), melainkan juga mengamati kenyataan tentang bagaimana sesungguhnya kesan-kesan, janji-janji, harapan-harapan maupun kemauan hukum yang dijalankan. Sehingga kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dapat diwujudkan.

Advertisement

Terkait timbulnya polemik Sabda Raja dan Dawuh Raja dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berkaitan dengan pewaris tahta kesultanan, menurut Sugiaryo, polemik-polemik semacam itu adalah hal yang biasa terjadi dalam sistem monarki.

“Penyelesaiannya sangat tergantung pada keluarga/internal Keraton dalam mengelola permasalahan yang ada,” tandasnya. Sugiaryo menjadi doktor ke-232 di UNS.

 

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif