Soloraya
Senin, 26 September 2016 - 16:15 WIB

REFORMASI AGRARIA : Ratusan Petani Sambirejo Sragen Long March 15 Km Tuntut Penghentian Krinalisasi Petani

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua FPKKS Sragen, Sunarji, berorasi di depan pintu masuk utama kompleks Setda Sragen saat berunjuk rasa bersama ratusan petani Sambirejo, Senin (26/9/2016). Aksi tersebut juga diikuti para aktivis KPA Jawa Tengah dan Formas Sragen. (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Reformasi Agraria, petani penggarap lahan sengketa di PTPN IX di Sragen menggelar demo.

Solopos.com, SRAGEN–Ratusan petani asal Sambirejo menggelar aksi long march dari Alun-alun Sasana Langen Warga Sambirejo ke Kota Sragen dengan jarak 15 km, Senin (26/9/2016) pagi. Mereka para petani penggarap lahan sengketa di wilayah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX. Mereka menuntut menghentikan kriminalisasi terhadap petani.

Advertisement

Aksi tersebut dipicu adanya kasus pembuatan sanggar di Gunung Kunci, Jambeyan, yang dinilai menyerobot tanah milik PTPN IX. Mereka mulai berjalan pukul 08.00 WIB. Sebanyak 10 truk, dua mobil pikap, dan satu unit mobil Toyota Innova berpelat H, mengikuti dari belakang. Selama berjalan dari Sambirejo ke Sragen, mereka membawa bendera merah putih, bendera lambang organisasi, dan spanduk berisi lima tuntutan keberpihakan kepada petani. Aksi itu juga sebagai peringatan Hari Tani Nasional.

Selain menuntut penghentian kriminalisasi terhadap petani, para petani yang dikoordinatori Ketua Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS), Sunarji, juga menuntut pembentukan forum penyelesaian konflik agraria; menyetop alih fungsi lahan yang berdampak pada petani; menyetop pembangunan yang merusak lingkungan; dan menyetop impor pangan sebagai wujud kedaulan pangan.

Mereka menyerahkan dua lembar kertas berisi pernyataan sikap kepada pimpinan lembaga yang didatangi. Di Mapolres Sragen, surat itu diterima Wakapolres Sragen Kompol Danu Pamungkas Totok. Surat juga diterima Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Sragen Giyadi didampingi Camat Sambirejo Surharyanto saat mereka berorasi di depan pintu masuk halaman Sekretariat Daerah (Setda) Sragen. Massa petani bergerak ke DPRD. Wakil Ketua Hariyanto yang menerima kedatangan massa petani. Massa kemudian bergerak ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sragen.

Advertisement

“Kami datang ke Pemkab Sragen ini dengan niat baik dan ingin bertemu dengan Bupati Sragen. Sebagai tamu, kami sudah berkirim surat jauh hari dan menyampaikan maksud kedatangan kami. Tetapi kami dipersilakan masuk saja tidak. Tetapi diterima di pinggir jalan. Pintu pagar ditutup rapat dan dijaga aparat Satpol PP,” ujar Sunarji dalam orasinya.

Sunarji menjelaskan para petani sudah lama menggarap lahan sengketa yang diklaim milik PTPN IX itu. Dia mengungkapkan konflik lahan di Sambirejo itu terjadi sejak 1999 dan hak guna usaha (HGU) PTPN IX itu sudah habis pada 31 Desember 2016. Selama masih lahan sengketa, kata dia, mestinya HGU tidak boleh diperpanjang tetapi buktinya kasus pendirian sanggar di Gunung Kunci menunjukkan ada HGU yang terbit April 2010. HGU itu ditunjukkan aparat kepolisian. “Padahal HGU itu di wilayah Sukorejo dan gunung kunci terletak di Jambeyan kan berbeda,” katanya.

Saat pendirian sanggar di gunung kunci, kata dia, juga diketahui pihak PTPN IX dan dibiarkan. Saat saka guru berdiri, ujarnya, lokasi itu dipasang garis polisi. Kemudian kayu-kayu itu diangkuti polisi. “Kami tetap diam dengan kejadian itu. Tiba-tiba ada petani yang dipanggil ke polisi dengan tuduhan menyerobot lahan. Kami ini juga aset negara yang wajib dilindungi. Bukan ketika pemilu didata dan digunakan haknya,” katanya.

Advertisement

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jawa Tengah, Purwanto, mencatat ada 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektare. Konflik tersebut, kata dia, melibatkan 105.887 kepala keluarga. Purwanto melihat sengketa lahan di Sragen seluas 384 hektare di Sambirejo yang digarap 830 petani di delapan desa merupakan salah satu kasus yang belum tersentuh oleh kebijakan negara.

“Aparatur negara yang mestinya jadi benteng petai tetapi justru mengusir petani. Bahkan kekerasan fisik dan psikis pun diterima petani penggarap. Negara saat ini belum hadir dalam perlindungan petani dan belum memberi dukungan kepada penyelesian sengketa yang berpihak kepada petani,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif