News
Senin, 26 September 2016 - 15:25 WIB

Menurut Prof Muzakir, Barang Bukti Kasus Jessica Tidak Sah

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahli digital forensik dari pihak Jaksa Penuntut Umum, Kasubbid Komputer Forensik Puslabfor Bareskrim Polri AKBP Muhammad Nuh Al Azhar (kanan) menjawab pertanyaan wartawan seusai mengikuti sidang lanjutan kasus dugaan pembunuhan berencana Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2016). Muhammad Nur Al Azhar mengatakan tidak mengenal atau familiar dengan piranti lunak atau tool forensik yang dipakai oleh saksi ahli yang dihadirkan pihak tim penasehat hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso, Rismon Hasiholan Sianipar. (JIBI/Solopos/Antara/Widodo S. Jusuf)

Prof Muzakir menilai barang-barang bukti kasus Jessica Wongso tidak sah.

Solopos.com, JAKARTA — Penasihat hukum Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan, menggunakan semua dalil untuk melemahkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Salah satunya, dia menggunakan aturan Kapolri yang terkait formalitas alat bukti, mulai dari penyitaan, berita acara, hingga kelengkapannya.

Advertisement

Otto memaksimalkan Peraturan Kapolri No. 10/2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri untuk melakukannya. Hal ini ditambah dengan penafsiran oleh pakar hukum pidana UII, Prof Muzakir.

“Prosedur itu menentukan kualitas barang bukti dan dan bobot pembuktian. Unprosedur bisa tidak dianggap sebagai barang bukti,” kata Muzakir saat menjadi saksi ahli di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (26/9/2016).

Advertisement

“Prosedur itu menentukan kualitas barang bukti dan dan bobot pembuktian. Unprosedur bisa tidak dianggap sebagai barang bukti,” kata Muzakir saat menjadi saksi ahli di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (26/9/2016).

Otto kembali menyebutkan satu per satu setiap pasal yang tidak dipenuhi oleh penyidik. Pertama, dia menyebutkan pasal 59 tentang syarat pemeriksaan barang bukti keracunan. Salah satu syarat formal pemeriksaan itu adalah adanya berita acara (BA) pengambilan, penyitaan, dan pembungkusan barang bukti.

“Diduga dalam gelas itu ada racun, tapi tidak ada di tubuh. Lalu ada BA pengambilan BB, tidak dipenuhi. Dia lompat, langsung disegel di bawah, bagaimana pendapat ahli?” kata Otto. Baca juga: Inilah Efek Setya Novanto yang Menguntungkan Jessica Wongso.

Advertisement

Otto juga menyinggung poin 2 pasal tersebut yang berisi syarat teknis jumlah barang bukti yang diambil. Di poin itu, disebutkan penyidik wajib mengambil lambung beserta isi (100 g), hati (100 g), ginjal (100 g), jantung (100 g), jaringan lemak bawah perut (100 g), otak (100 g), urine 25 ml, darah 10 ml, dan lain lain. Dalam kasus ini, sampel yang diambil penyidik memang tak selengkap itu.

“Kalau aturannya wajib, kalau diambil sebagian, maka tidak memiliki kekuatan untuk membuktikan korban meninggal karena racun. Kalau diperiksa semua dan positif, kita bisa terima. Tapi kalau hanya sebagian, lalu hasilnya positif, itu diragukan. Seperti kalau tidak ada berita acara, ya tidak bisa membuktikan kausalitas tadi,” kata Muzakir. Baca juga: Muzakir: Jika Motif Tak Terbukti, Pembunuhan Mirna Tak Disengaja.

Otto pun mengarahkan pertanyaannya ke soal jumlah sampel yang diambil kurang dari yang disyaratkan. “Misal diperiksa, tapi tidak ditimbang 100 gram. Bagaimana ini?” tanya Otto. “Prosedur itu syarat minimum pembuktian, kalau lebih dari itu bagus. Tapi kalau kurang, menurut ketentuan itu bisa diragukan hasilnya,” tandas Muzakir.

Advertisement

Muzakir pun berkomentar soal autopsi sebagian untuk mengambil sampel di jenazah Mirna. Untuk mengambil semua organ tersebut, seharusnya melalui autopsi menyeluruh dan organ itu diambil utuh. “Untuk ambil 6 organ dan cairan, hanya bisa dilakukan saat autopsi menyeluruh. Kan tidak mungkin membukanya tanpa autopsi. Itulah berdasarkan perkapolri, syaratnya 6 organ plus 2 cairan itu,” katanya.

Bahkan kata Muzakir, penasihat hukum bisa menuntut hakim untuk menyatakan pembuktian itu tidak sah jika tidak memenuhi standar. “Kalau tidak standar, tidak bisa, karena hak orang dirugikan.”

Tak hanya itu, Otto juga menggunakan Perkapolri tersebut sebagai dasar untuk mempertanyakan keabsahan rekaman CCTV yang dipakai sebagai alat bukti di persidangan. Dalam pasal 20 perkapolri itu, pemeriksaan barang bukti (BB) komputer harus memenuhi persyaratan formal, yang salah satunya adalah BA pengambilan penyitaan dan pembungkusan BB.

Advertisement

Selama ini, berita acara pengambilan rekaman CCTV tersebut sering dipertanyakan. Selain itu, Otto juga kembali mempertanyakan pemindahan file rekaman CCTV dari DVR ke flashdisk yang dilakukan bukan oleh penyidik, melainkan pegawai Olivier Cafe.

“Terkait persoalan informasi elektronik, prinsipnya yang disebut data informasi elektronik original itu di DVR. Lalu bisa dikloning sesuai jaminan aslinya, lalu digandakan sesuai jumlah yang diperlukan. Kalau digandakan kembali, yang kedua dan ketiga tidak sesuai orisinalitasnya. Jadi aslinya harus dijaga, dirawat sedemikian rupa di pengadilan,” katanya.

Untuk kloning rekaman, hal itu harus dilakukan dari sumber aslinya. Karena itu, tanpa berita acara, maka sulit diketahui aslinya. “BA [berita acara] ini wajib, ada perbuatan hukum pada objek tertentu. Misal ada pengkloningan, bukti kloningnya harus ada sidik jarinya. Kalau flashdisik ini digandakan lagi, ini sudah tidak asli.”

Menurut Muzakir, jika proses pemindahan rekaman itu tanpa berita acara dan tidak dilakukan penyidik, maka semuanya diragukan. Apalagi, DVR yang menjadi tempat penyimpanan pertama file rekaman sudah dikosongkan.

“Karena kemungkinan-kemungkinan [manipulasi] yang terjadi, itulah pentingnya BA pengambilan. DVR ini yang asli. Kalau ada pihak yang merasa ragu-ragu aslinya yang mana, yang asli ini bisa ditunjukkan. Kalau sudah dihapus, tidak ada BA, semua bukti itu tidak bisa menjadi alat bukti yang sah.”

Belum lagi, Otto menggunakan dalil putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi terhadap Pasal 5 Ayat 1 serta Pasal 44 huruf b Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal itu mengatur soal informasi atau dokumen elektronik sebagai alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang sah. Hasilnya, dokumen elektronik tidak bisa dipakai sebagai alat bukti jika tidak diambil penyidik atau tidak berdasarkan perintah penyidik.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif