Soloraya
Sabtu, 24 September 2016 - 14:15 WIB

PERTANIAN BOYOLALI : Budidaya Sayuran Organik, Petani Muda Ini Raih Penghargaan Gubernur

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warno, 36, petani asal Dusun Pasah, Desa Senden, Selo, menunjukkan panen brokoli. (Istimewa)

Pertanian Boyolali diharapkan akan terus maju dengan munculnya petani-petani muda.

Solopos.com, BOYOLALI – Warno, 36, petani asal Dusun Pasah, Desa Senden, Kecamatan Selo, mengawali ceritanya kepada Solopos.com, Jumat (23/9/2016) sore. Kemarin dia sedang dikarantina di salah satu hotel di Solo karena hari ini, Sabtu (24/9/2016), dia akan mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo.Dia mendapatkan juara I Pelayan Pangan untuk Adikarya Pangan Nusantara.

Advertisement

“Saya sebenarnya tidak punya cita-cita menjadi petani. Tetapi jika dibandingkan bekerja di perusahaan yang harus ikut aturan orang lain, menjadi petani banyak enaknya. Yang jelas, kami bisa mengatur diri sendiri dan menciptakan kemandirian ekonomi sendiri,”ujar Warno.

Bertani sudah dilakoninya sejak kecil. Sepulang sekolah waktu SD dulu, dia selalu beraktivitas dengan sabit, keranjang, cangkul, dan beternak kambing.

Advertisement

Bertani sudah dilakoninya sejak kecil. Sepulang sekolah waktu SD dulu, dia selalu beraktivitas dengan sabit, keranjang, cangkul, dan beternak kambing.

“Kemudian pergi ke lahan bersama orang tua. Begitu seterusnya sampai saya bisa kuliah jurusan pertanian di Jember,” kata Warno.

Dengan gelar sarjananya dia menjadi tenaga kontrak penyuluh pertanian di BPP Kecamatan Selo. Namun, sejatinya dia adalah petani. Dia memproduksi sayur-sayuran organik bahkan pernah menembus pasar ekspor. Sayangnya, ekspor buncis kini terhenti karena dia menemui kendala pembayaran dari eksportir asal Singapura itu.

Advertisement

Budidaya sayuran kebanyakan dia kelola dan garap sendiri, kecuali saat pengolahan tanah.“Kalau urusan mencangkul, saya cari tenaga.”

Budidaya hortikultura dia pilih bukan hanya karena wilayah Selo sangat cocok untuk komoditas itu. Baginya, hortikultura adalah budidaya pangan yang penuh tantangan, menarik, dan punya banyak seni yang bisa dikreasikan, baik seni budidayanya maupun pascapanennya. “Beda dengan tanam padi itu sangat monoton.”

Berkreasi

Advertisement

Dia mencontohkan budidaya tomat. Untuk menginginkan angka produktivitas tertentu, petani bisa berkreasi dengan berbagai macam perlakuan. “Kalau mau hasilnya banyak, ada perlakuan-perlakuan khusus yang jadi tantangan.”

Untuk pascapanen, petani juga harus berkreasi dengan kemasan. Kebetulan, Warno juga membina Kelompok Tani Argo Ayuningtani. Kelompok tani itu tidak mendistribusikan produknya secara konvensional namun dengan kemasan agar bisa masuk ke pasar modern. Kebetulan produk sayurannya semuanya organik dan sudah tersertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSOS).

“Yang paling banyak produk sayuran kami masuk ke pabrik makanan, sepekan sekali kami kirim ke pabrik. Jadi nilai jualnya lebih menjanjikan dari pada hanya diangkut ke pasar.”

Advertisement

Kelompok tani ini punya keinginan maju. Bagaimana tidak? Sebanyak 26 anggota kelompok taninya adalah generasi muda. Rata-rata mereka berusia 35 tahun. “Paling tua usia 40 tahun. Mereka memang sudah yakin bahwa pertanian adalah masa depan mereka. Bagi saya pertanian masih cukup menjanjikan hal ini bisa dilihat 90% universitas di Indonesia masih membuka jurusan pertanian,” ujar dia yang juga pernah menjadi THL terbaik tingkat Jawa Tengah.

Tidak hanya Warno. Kendati sering berada di tengah ketidakpastian hasil, Mujianto, 38, warga RT 001/RW 003, Desa Samiran, Kecamatan Selo,juga tetap setia dengan budidaya sayuran.
Di lahan seluas 2.000 meter persegi, dia menanam beragam jenis sayuran seperti cabai, kubis, brokoli, dan tomat. Selain pertanian, Mujianto juga beternak sapi. “Dari bertani dan beternak sapi, alhamdulillah menjadi sumber penghasilan utama keluarga kami,” kata Mujianto.

Dia pernah mencoba bekerja di luar sektor pertanian, merantau ke ibu kota dan mencari nafkah di sana. “Hanya satu tahun, saya tidak betah. Akhirnya saya pulang dan kembali menjadi petani tradisi melanjutkan apa yang sudah dikerjakan bapak saya selama ini,” ujar dia.

Mujianto adalah salah satu petani muda asal lereng Merapi. Dia adalah petani tradisi yang tetap bertani tanpa mengurangi upaya penyelematan lingkungan. Dia dikenal aktif mengembangkan inovasi khususnya inovasi pascapanen. Pascapanen biasanya menjadi momok bagi petani. Dia pernah menjajaki kerja sama dengan rumah sakit swasta di Solo dan pasar modern agar bisa memasok produk sayuran. Namun, dia menemui kendala. “Ya beginilah pertanian, sulit untuk menjaga kontinuitas.”

Dia pun berupaya berinovasi dengan memangkas rantai distribusi. Dia menjajaki kerja sama langsung dengan pedagang hasil bumi di ibu kota. “Seperti cabai, saya kirim langsung ke Jakarta. Jika melalui rantai distribusi yang panjang harga cabai di Jakarta bisa mencapai Rp40.000/kg, kalau distribusi bisa dipangkas harga cabai mungkin hanya Rp30.000/kg. Bagi petani ini lebih menguntungkan karena produksinya menjadi cepat laku.”

Di tengah potensi yang ada, dia mencoba mengembangkan agrosilfopastural yakni pertanian terpadu yang memadukan pertanian itu sendiri dengan peternakan dan perkebunan. “Dari tiga sektor itu harus ada mata rantai. Saya kembangkan biogas dari kotoran ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan pupuk,” ujar dia yang sempat aktif di Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Boyolali.

Saat ini, dia bersama Kelompok Tani Sumber Makmur mulai mengarah untuk mengembangkan agrowisata. Dia membuat video profil yang bisa digunakan untuk mempromosikan potensi wisata pertanian di wilayah Desa Samiran.

Kebetulan, 60% anggota Kelompok Tani Sumber Makmur adalah generasi muda yang harapannya menjadi petani visioner sehingga agrowisata di Desa Samiran lebih berkembang.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif