News
Selasa, 20 September 2016 - 17:06 WIB

Membandingkan Perilaku Jessica dengan Laki-Laki Pakai Rok

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahli Kriminologi Ronny Rasman Nitibaskara (kanan) dan Ahli Psikologi Sarlito Wirawan Sarwono (kedua kanan) menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis (1/9/2016). (JIBI/Solopos/Antara/Widodo S. Jusuf)

Penyebutan perilaku Jessica Wongso sebagai “tidak lazim” diperdebatkan. Bahkan, perdebatan juga membandingkan soal laki-laki yang pakai rok.

Solopos.com, JAKARTA — Ada pola menarik dalam kesaksian ahli psikologi kedua yang dihadirkan kuasa hukum Jessica Kumala Wongso, Agus Mauludi, Senin (19/9/2016). Agus mengkritik soal standar kelaziman yang seharusnya memakai statistik, namun dalam beberapa hal yang menurutnya tak perlu memakai statistik.

Advertisement

Seperti psikolog UI Dewi Haroen yang bersaksi pada hari yang sama, Agus menyebutkan bahwa untuk menyimpulkan sebuah perilaku lazim atau tidak, perlu ada metode ilmiah. Metode itu adalah statistik yang mengukur perilaku tersebut konsisten atau tidak dengan perilaku sebelumnya.

Masalah lazim atau tidak kali pertama didebat oleh kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, dalam sidang yang mendengarkan kesaksian ahli psikologi Dr Antonia Ratih beberapa waktu lalu. Saat itu, Antonia menyebut beberapa perilaku Jessica di Olivier Cafe tidak lazim, termasuk saat close bill saat rekan-rekannya belum datang.

Advertisement

Masalah lazim atau tidak kali pertama didebat oleh kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, dalam sidang yang mendengarkan kesaksian ahli psikologi Dr Antonia Ratih beberapa waktu lalu. Saat itu, Antonia menyebut beberapa perilaku Jessica di Olivier Cafe tidak lazim, termasuk saat close bill saat rekan-rekannya belum datang.

Agus membuka kemungkinan tidak diperlukannya statistik itu saat jaksa bertanya apakah semua perilaku harus diukur dengan statistik. Agus mengatakan tidak semua harus pakai statistik, salah satunya dalam menilai culture (budaya). Baca juga: “Digoyang” Jaksa Soal Inkonsistensi Jessica, Psikolog Ini Sempat Terdiam.

“Urutannya dari habit, lalu culture. Sesuatu bisa dibilang culture jika sudah ada struktur kekuasaan. Misalnya kalau ada laki-laki pengin pakai rok, bapaknya pasti marah. Sehingga [untuk menilai] anak laki-laki enggak pakai rok, itu tidak pakai statistik lagi. Itu culture saja,” kata Agus di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin malam.

Advertisement

“Kalau ahli punya kolega, Anda tahu sistem di restoran kalau semuanya selesai baru bayar. Apa tindakan Anda, menunggu kolega datang untuk memilih hidangan? Atau sebelum datang sudah memesankan?” tanya jaksa.

Agus pun menyebut hal itu tergantung kebiasaan masing-masing orang. “Saya tidak bilang common behaviournya harus pesan nanti. Bapak tanya [sikap] saya, kalau saya laper, saya pesan dulu,” katanya.

Jaksa pun mengejar. “Ini kalau menjamu, saudara yang mengundang [bagaimana sikap Anda]?” Agus pun berkelit dengan beralasan bisa saja hal itu dilakukan karena pelit. “Saya begini Pak. Kalau mau bilang itu behaviour, saya enggak tahu [mungkin] dia pelit, lalu tutup aja biar enggak nambah [pesanan].”

Advertisement

Namun jaksa tak puas dan menanyakan sikap Agus jika dalam situasi mengundang makan malam. Seperti diketahui, ada rencana makan malam dalam pertemuan antara Jessica dan Mirna di Olivier Cafe saat itu. Baca juga: Christopher Rianto Buktikan Jari “Mak Lampir” Jessica Bukan Rekayasa.

“Kalau makan malam, apa yang mau dibayar dulu?” tanya jaksa. “Kalau seseorang punya hobi tertentu, [misal] saya mau bikin surprise, ya saya sediakan lebih dulu,” jawab Agus.

“Itu bukan kejanggalan?” cecar jaksa. Di luar dugaan, Agus yang semula lancar menjawab mendadak diam sejenak. “Kalau……kalau eeeee, saya mau bilang. Bapak tanya saya [sebagai] pribadi atau …” kata dia.

Advertisement

“Boleh pribadi, boleh [sebagai] ahli,” jawab jaksa. Mendapat pertanyaan itu, Agus memilik tak menjawab. “Kalau ahli, untuk menentukan common behaviour, mesti ada studi. Kalau pribadi, saya boleh enggak jawab kan?” katanya.

Pertanyaan serupa kembali disinggung oleh jaksa Shandy Handika yang mendapatkan giliran terakhir untuk bertanya. Dia bertanya seberapa wajib survei dilakukan untuk menentukan perilaku sebagai lazim atau tidak. “Kalau pakai hak tinggi, apa harus pakai survei?” tanyanya.

Agus pun mengatakan hal ini sebagai culture atau tak perlu menggunakan statistik untuk menentukannya. “Itu karena culture, kalau sudah ada culture, ada struktur kekuasaan yang mengatur itu. Kalau ada laki-laki pakai [highhil], orang akan bilang bencong, ini culture,” kata Agus.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif