Jogja
Sabtu, 3 September 2016 - 21:20 WIB

PERTUMBUHAN EKONOMI DIY : Pendidikan Picu Ketimpangan Ekonomi di DIY

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi menghitung uang. (JIBI/Solopos/Dok.)

Pertumbuhan ekonomi DIY terdampak adanya tingkat pendidikan

Harianjogja.com, JOGJA-Pendidikan menjadi faktor tingginya tingkat ketimpangan ekonomi di DIY. Jika melihat dari kelompok pengeluaran maksimal dan minimal, ketimpangan di DIY terburuk ke-2 secara nasional.

Advertisement

BPS mencatat, tingkat ketimpangan di DIY berdasarkan gini ratio pada Maret 2016 adalah 0,420, lebih tinggi dari angka nasional yang hanya 0,397.

Hal tersebut disampaikan Kepada Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Bambang Kristianto, Kamis (1/9/2016). “Jika melihat dari kelompok pengeluaran maksimal dan minimal, jomplang itu per kabupaten. Ada yang dalam satu bulan pengeluarannya sekitar Rp300.000 ada yang sampai di atas Rp10 juta,” kata Bambang di kantornya.

Advertisement

Hal tersebut disampaikan Kepada Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Bambang Kristianto, Kamis (1/9/2016). “Jika melihat dari kelompok pengeluaran maksimal dan minimal, jomplang itu per kabupaten. Ada yang dalam satu bulan pengeluarannya sekitar Rp300.000 ada yang sampai di atas Rp10 juta,” kata Bambang di kantornya.

Pendidikan yang belum merata menjadi pemicu tingkat ketimpangan ini, yakni dari rata-rata lama sekolah. Di Kulonprogo maupun di  Gunungkidul, banyak perempuan hanya tamatan SD sehingga untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi terbatas.

Akses menuju sekolah menengah maupun sekolah tinggi yang cukup jauh juga disebutnya menjadi pemicu tingkat pendidikan di Kulonprogo dan Gunungkidul rendah. Untuk dapat bersekolah setara sekolah menengah, mereka harus pergi ke kecamatan, apalagi jika harus mengenyam pendidikan perguruan tinggi.

Advertisement

Bersambung halaman 2

Atas kondisi ini, ia menilai pembangunan di DIY belum merata. Seharusnya semua orang berkesempatan mendapatkan keadilan.

Advertisement

Ketimpangan juga terjadi di sektor pertanian. Penghasilan sektor pertanian masih sangat rendah, sekitar Rp30.000 per hari. Itu pun tidak setiap hari buruh tani mendapat pekerjaan.

Produktivitas pertanian yang rendah juga semakin memperparah ketimpangan antara kehidupan petani dengan pekerja di sektor buruh bangunan, apalagi dengan pegawai pemerintahan. Rata-rata penguasaan tanah pertanian kurang dari 0,2 hektare per petani.

Bambang berpendapat, pembangunan dinilainya berpihak pada orang-orang yang berpendidikan tinggi. “Kalau hal ini dibiarkan maka akan memicu konflik sosial. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin,” kata Bambang.

Advertisement

Menurutnya semua orang harus memiliki akses pekerjaan yang layak sehingga lebih produktif. Anggaran harus menyasar pada masyarakat yang tepat seperti orang yang terpinggirkan atau terisolir dengan menciptakan kerjasama semua pihak, tidak hanya pemerintah tetapi juga dunia usaha.

Pakar Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Muhadjir Darwin mengatakan tingginya tingkat ketimpangan yang terjadi di DIY biasa terjadi di negara yang menganut ekonomi pasar bebas. Kondisi seperti ini berpotensi memunculkan ketimpangan si kaya dengan si miskin.

Sebelumnya, BPS merilis garis kemiskinan DIY pada Maret 2016 naik 5,42% dibandingkan tahun sebelumnya. Muhadjir berpendapat, jika garis kemiskinan naik, seharusnya proporsi jumlah kemiskinan turun, begitu juga dengan ketimpangannya.

Jika kondisi yang terjadi di DIY ketimpangannya tinggi, artinya katanya,  ada orang yang penghasilannya makin besar dan di sisi lain ada yang tetap atau semakin kecil.

“Ketimpangan ekonomi tinggi belum tentu mengindikasikan pengentasan ekonomi Jogja gagal,” tegasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif