Jogja
Jumat, 2 September 2016 - 08:21 WIB

TRADISI BANTUL : Serunya Lomba Ngeliwet

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ngatiyem (Kiri) dan Wagiyah (Kanan) saat mengikuti lomba ngeliwet yang menjadi salah satu rangkaian acara pameran keliling museum Vredenbreg di Desa Wisata Cabdaran, Kebonagung, Imogiri, Pada Kamis (1/9/2016) (Irwan A. Syambudi/JIBI/Harian Jogja)

Tradisi Bantul dipertahankan dengan digelar tiap tahun.

Harianjogja.com, BANTUL — Lomba ngeliwet sebagai bentuk mempertahankan tradisi di tengah masyarakat karena sudah mulai ditinggalkan. Setiap tahunya museum Tani Jawa Indonesia yang terletak di Desa Wisata Candaran, Kebonagung, Imogiri rutin menadakan lomba ngeliwet.

Advertisement

Wagiyah (51), bersama Ngatiyem (55), tim dari Dusun Tlogo, Kebonagung, Imogiri merupakan salah satu tim peserta. Mereka menyiapkan aneka masakan, mulai dari nasi liwet, tahu dan tempe bacem, sayur lodeh terong, hingga kripik ikan asin.

Saat perlombaan dimulai sekitar pukul 10.00 WIB, para peserta mulai menyalakan api di anglo yang telah disediakan panitia. Di atas anglo juga sudah diletakkan sebuah kendil yang berisi beras seperempat kilogram (kg). Wagiyah sibuk menyalakan api, beberapa kali apinya sempat mati lantaran tertiup angin. Lomba diadakan di sepanjang jalan yang berada di tepi sawah depan museum Tani Indonesia berbarengan dengan acara pameran keliling museum Benteng Vredebreg, Desa Wisata Candran, Kebonagung, Imogiri, pada Kamis (1/9/2016).

Di pinggir sawah tersebut angin bertiup berganti-ganti arah sehingga menyulitkan peserta saat ingin menghidupkan api. Kata Wagiyah apinya susah hidup selain karena anginya kencang juga kayu bakar yang disediakan masih sedikit basah. Namun Wagiyah tidak begitu kesulitan, tak lama kemudian api dapat ia nyalakan.

Advertisement

Kayu bakar yang sedikit basah itu ia campur dengan bubuk sisa kayu yang digergaji dan daun kelapa kering. Setelah api menyala kemudian sesekali ia aduk beras yang ada di dalam kuali supaya tidak gosong. Terhitung dua kali ia menambahkan air panas karena menilai nasi yang ia masak kurang pulen. “Sudah biasa masak pakai kayu bakar,” ujar Wagiyah yang baru pertama kali ikut serta.

Lomba yang telah diadakan sejak sembailan tahun lalu ini, memang sengaja mengharuskan peserta memakai menggunakan kayu bakar dan piranti dari tanah liat dalam memasak. Ternyata, tak hanya ibu-ibu di perkotaan yang sudah meminggirkan anglo dan kuali, karena hal serupa telah terjadi di pedesaan. Wagiyah dan ngatiyem mengaku sudah tidak menggunakan anglo dan kendil sejak beberapa tahun yang lalu.

“Dulu waktu mudah masih saya masih menggunakan pernah mengunakan kendil, tapi karena sudah banyak alat-alat yang terbuat dari alumunium seperti ketel dan lainya saya tidak pernah pakai lagi. Sekarang saya di rumah kalau masak nasi tinggal pakai rice cooker karena tak sampai 20 menit sudah matang” kata Wagiyah.

Advertisement

Kalau ngeliwet pakai ketel alumunium dan kompor, cukup 20 menit. Tapi pakai kuali dan anglo, sepertinya baru matang 30 menit. Harus sabar dan diaduk-aduk supaya tidak gosong kata Wagiyah. Satu tim peserta yang terdiri dua samapai lima orang ini, harus bahu-membahu memasak.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif