Sidang kopi bersianida belum juga menunjukkan bukti langsung Jessica meracun Mirna.
Solopos.com, JAKARTA — Pengungkapan kasus pembunuhan butuh bukti langsung (direct evidence) yang menunjukkan pelaku melakukan sesuatu terhadap korban. Namun hingga sidang es kopi bersianida yang ke sekian kalinya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016), jaksa penuntut umum (JPU) belum menghadirkan bukti langsung itu.
Sejumlah pengamat hukum maupun kuasa hukum terdakwa Jessica Kumala Wongso selalu beralasan bahwa yang harus dicari adalah bukti bahwa pelaku memasukkan racun ke gelas korban Wayan Mirna Salihin. Padahal, Jessica tetap membantah tuduhan bahwa dirinya adalah orang yang memasukkan sianida.
Publik pun bertanya, jika bukti langsung itu tidak ada, apakah Jessica benar-benar bisa lepas dari hukuman? Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward OS Hiariej, mengatakan setiap terdakwa punya hak mengingkari dakwaan.
Publik pun bertanya, jika bukti langsung itu tidak ada, apakah Jessica benar-benar bisa lepas dari hukuman? Pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward OS Hiariej, mengatakan setiap terdakwa punya hak mengingkari dakwaan.
“Terdakwa punya hak ingkar, dia boleh mengingkari apapun yang didakwakan kepadanya, itu untuk menjaga objektivitas peradilan,” kata Edward menjawab pertanyaan Hakim Binsar Gultom dalam sidang Jessica di PN Jakarta Pusat, Kamis (25/8/2016) malam.
Menurut Edward, hakim harus memperhatikan apakah yang diingkari terdakwa tersebut bisa terbukti atau tidak. Namun jika semua alat bukti ditolak terdakwa, hakim bisa mempertimbangkan bobot bukti yang dihadirkan di persidangan.
Sebaliknya, jika hakim ingin membebaskan terdakwa dari hukuman, maka bobot bukti yang meringankan ini harus lebih besar dari bobot bukti yang dihadirkan penuntut umum. Jadi, dalam kasus Jessica, putusan hakim sangat dipengaruhi pertarungan bobot bukti dari JPU vs pengacara.
Dalam kesaksian itu, Edward juga menjawab kekuatan bukti elektronik berupa rekaman CCTV yang selama ini menjadi perdebatan. Menjawab pertanyaan pengacara Jessica, Otto Hasibuan, dan hakim Binsar, dia mengakui CCTV memang belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Pertama, dalam kuhap tidak mengatur alat bukti elektronik. Tapi kalau merujuk UU Informasi dan Transaksi Elektronik [ITE], CCTV bisa masuk konteks bukti elektronik,” ujarnya.
Soal kekuatan CCTV, kata dia, selama tidak direkayasa dan ditayangkan apa adanya, hal itu bisa menjadi bukti yang tak terbantahkan. Sekali lagi, hakim harus membuat keputusan karena CCTV memang tidak menunjukkan direct evidence itu.
Mengutip pernyataan ahli hukum Sutikno Martokusumo, Edward menyatakan ada bukti lain jika tidak ada bukti langsung.
“Pembuktian ada 2, yaitu absolut dan relatif. Jika alat bukti itu bersifat absolut, artinya tidak terbantahkan. Misal si A anaknya si B bisa dibuktikan dengan tes DNA. Sedangkan pembuktian relatif atau nisbi, maka semuanya itu tergantung keyakinan hakim.”