Soloraya
Kamis, 25 Agustus 2016 - 11:25 WIB

PERIKANAN SRAGEN : Rugi Besar, Warga Tak Kapok Budidaya Ikan di WKO

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bangkai ikan nila dan mas mengambang di permukaan keramba milik Mitra Usaha di Waduk Kedung Ombo (WKO) sebelah timur, tepatnya di kawasan Ngasinan, Ngargotirto, Sumberlawang, Sragen, Selasa (24/8/2016). (Moh. Khodiq Duhri/JIBI/Solopos)

Perikanan Sragen sejumlah warga membudidayakan ikan di WKO.

Solopos.com, SRAGEN – Mentari tepat di atas ubun-ubun saat Solopos.com tiba di Waduk Kedung Ombo (WKO), Selasa (24/8/2016). Tidak ada aktivitas di tepian waduk yang berada tak jauh dari Dusun Ngasinan, Desa Ngargotirto, Sumberlawang, Sragen. Hanya terdapat beberapa sampan yang berjajar di tepian bibir waduk. Setelah menunggu hampir 15 menit lamanya, seorang ojek perahu datang menghampiri.

Advertisement

“Rp20.000/orang saya antar sampai ke tengah waduk pulang pergi,” kata Kardi, 45, nama tukang ojek perahu itu.

Perahu Kardi digerakkan dengan mesin diesel berbahan bakar solar. Mesin diesel itu digunakan untuk menggerakkan turbin. Perahu itu membawa Solopos.com bersama beberapa penumpang lain ke tengah waduk yang berjarak sekitar 750 meter dari daratan. Dari kejauhan tampak beberapa keramba ikan yang ditarik menggunakan beberapa perahu.

Advertisement

Perahu Kardi digerakkan dengan mesin diesel berbahan bakar solar. Mesin diesel itu digunakan untuk menggerakkan turbin. Perahu itu membawa Solopos.com bersama beberapa penumpang lain ke tengah waduk yang berjarak sekitar 750 meter dari daratan. Dari kejauhan tampak beberapa keramba ikan yang ditarik menggunakan beberapa perahu.

Keramba itu mengapung di atas rangkaian drum atau tong besi. Meski sudah ditarik beberapa perahu, keramba itu seakan tak bergerak.

”Di keramba itu ada banyak ikan yang mati. Ikan yang mati itu harus dibuang ke daratan agar tidak mencemari air waduk. Itu sebabnya, keramba itu harus ditarik ke tepian waduk. Butuh waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke tepian,” jelas Kardi.

Advertisement

Sepuluh menit berlalu, tibalah kami di salah satu keramba ikan milik perusahaan Mitra Usaha. Aroma tidak sedap menyambut kedatangan kami. Aroma itu bersumber dari ribuan bangkai ikan emas dan nila yang sudah membusuk. Ikan-ikan itu mengapung di permukaan air.

Bagian perut ikan itu mengembang layaknya jasad makhluk hidup yang lama mengapung di air. Beberapa petani ikan sibuk memisahkan ikan yang mati dari gerombolan ikan yang masih hidup.

”Total ada sekitar 30 ton ikan kami yang mati dalam dua hari terakhir. Kami harus bekerja keras untuk memisahkan bangkai ikan dar gerombolan ikan yang masih hidup. Kalau tidak segera dipisahkan, bangkai ikan itu akan mencemari air. Risikonya, ikan yang mati bisa bertambah,” kata Sugiyarto, pemimpin produksi keramba ikan milik Mitra Usaha kala ditemui wartawan di lokasi.

Advertisement

Dalam hukum Islam, bangkai ikan sebetulnya halal dimakan. Namun, bangkai ikan di Waduk Kedungombo itu dianggap tidak layak konsumsi. Warga sekitar khawatir mengonsumsi bangkai ikan itu akan mendatangkan penyakit. Walhasil, bangkai-bangkai ikan itu akhirnya dibuang ke daratan.

Kematian ikan di WKO itu terjadi merata hampir setiap keramba ikan. Setidaknya terdapat 150 keramba ikan yang terkena dampak dari perubahan iklim. Sebagian keramba ikan itu milik perusahaan yang dikelola oleh warga setempat. Sisanya dikelola secara mandiri oleh warga sekitar.

Matinya ikan dalam keramba itu diawali dengan kondisi air yang keruh secara mendadak. Warna air WKO saat itu berwarna putih. Kalangan petani ikan tidak tahu pasti penyebab air di WKO itu menjadi keruh. Mereka hanya tahu lapisan tanah di dasar waduk itu terangkat ke permukaan sehingga membuat air menjadi keruh.

Advertisement

Keruhnya air di WKO hanya berdampak pada ikan dalam keramba. Ikan-ikan yang tumbuh liar di perairan WKO selamat dari ancaman kematian.

”Ikan liar itu bisa pergi ke mana saja untuk memilih air yang jernih. Kalau ikan dalam keramba, meski air keruh, mereka tidak bisa ke mana-mana,” jelas Giman, 50, petani ikan lain.

Dalam hitungan kasar, Mitra Usaha mengalami kerugian sekitar Rp810 juta akibat matinya 30 ton ikan itu, dengan asumsi harga jual ikan nila dan emas Rp27.000/kg. Kerugian itu belum termasuk biaya pakan yang digunakan untuk membesarkan ikan.

Meski kerugian yang dialami cukup besar, kalangan petani ikan tidak kapok. Bagi mereka, iklim yang kurang bersahabat sulit untuk dihindari. ”Harapan kami iklim yang kurang bersahabat ini bisa berlalu. Biarlah kami rugi sekarang, yang penting ke depan kami bisa meraih untung kembali,” papar Giman.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif